January 27, 2013

Hana no Ato (2010)


Hana no Ato (2010)






Hana no Ato (2010)

After the Flowers
Drama
Director: Kenji Nakanishi
Release Date: March 13, 2010
Runtime: 107 min.
Language: Japanese
Country: Japan 

Cast:


Watched : 27 January 2013


Ito (Keiko Kitagawa) yang berasal dari klan kecil dengan status tinggi di wilayah Tohoku, sejak kecil dilatih bertarung menggunakan pedang bambu oleh sang ayah. Bahkan Ito terkenal sebagai gadis yang cukup disegani karena kemampuannya tersebut. Suatu hari ketika sedang melihat pemandangan bunga sakura di dekat sungai, Ito bertemu dengan Magoshiro Eguchi (Shuntaro Miyao) yang berasal dari Hagai dojo.  Magoshiro menantang Ito bertarung dalam pertarungan persahabatan.


Lewat pertandingan tersebut, timbul perasaan dari dalam diri Ito pada Magoshiro. Sayangnya, Magoshiro berasal dari kasta samurai terendah dan Ito sendiri telah ditunangkan dengan Saisuke Katagiri (Masahiro Komoto). Magoshiri sendiri juga telah dijodohkan dengan Kayo (Ayumi Ito).


Cukup kaget juga saya ketika tahu bahwa film ini mengambil tema cinta. Perasaan cinta yang mungkin sulit diungkapkan oleh seorang wanita pada jaman itu dimana status wanita pada masa itu sangat jauh berbeda dengan wanita modern saat ini. Hal ini bisa terlihat dengan karakter Ito yang terlihat berbeda dengan wanita kebanyakan di masa itu karena keahliannya bertarung.

 
Akting Keiko Kitagawa cukup bagus di sini setelah sebelumnya saya sedikit kecewa dengan aktingnya di Paradise Kiss. Dari gesture dan mimik wajahnya, dia mampu menampilkan sosok Ito yang kuat dan penuh keberanian kendati hatinya sedih karena cinta tak terbalas. Sedangkan Shuntaro Miyao, terlihat biasa saja. Padahal dia merupakan salah satu tokoh sentral dalam film ini. Belum lagi ikatan chemistry antara Miyao dan Kitagawa yang kurang intim. Akting memukau justru ditunjukkan oleh Masahiro Komoto sebagai tunangan Ito. Memang karakter seperti Saisuke Katagiri seperti sudah menjadi trademark bagi Komoto. Jika anda penggemar dorama, anda pasti tahu hal itu. Kendati demikian, Komoto mampu menghidupkan jalan cerita dari film ini karena karakter riang dan sedikit bodohnya itu. Saya yang awalnya kurang suka dengan karakter Katagiri, malah berbalik haluan ketika menyaksikan apa yang dia lakukan demi tunangannya tersebut. 


Saya suka dengan setting jaman Edo seperti ini, dimana sedikit banyak settingnya mengingatkan saya pada dorama Jin, terutama jembatan yang dilewati Ito. Saya juga terkesima dengan segala tata cara adat istiadat yang dilakukan pada jaman itu. Dan tentunya wardrobenya yang sangat indah, kimono


Saya sebenarnya menantikan pertarungan yang lebih banyak lagi dalam film ini tapi ternyata hanya sebentar saja, itu pun terlalu biasa. Bedanya hanya dilakukan oleh seorang wanita yang pada jaman itu (Edo) sukar menemukan wanita yang bisa bertarung hebat layaknya seorang pria.

 

Ceritanya memang cukup sederhana, hanya soal cinta tak berbalas. Dan ternyata masih ada cinta lain yang menunggu di luar sana. Jadi jangan menutup hati hanya buat satu orang saja karena kita tidak akan tahu masih ada hati lain yang menantikan cinta kita.














Akiresu to kame (2008)



Achilles and the Tortoise (2008) 





Akiresu to kame (2008)
Achilles and the Tortoise | Achilles to Kame
Drama | Comedy
Director: Takeshi Kitano
Release Date: September 20, 2008
Runtime: 119 min.
  Language: Japanese
Country: Japan 
Cast:



Watched : 24 January 2013





Machisu Kuromachi
yang putra seorang kolektor kaya, sejak kecil suka melukis. Apalagi sejak mendapat pujian dari teman ayahnya yang seorang artis terkenal, dia terobsesi menjadi seorang pelukis terkenal. Dengan bakatnya tersebut, Machisu mampu menghasilkan lukisan-lukisan yang unik dan tidak biasa. Ketika suatu tragedi terjadi, mendadak kehidupannya berubah total tapi kecintaan Machisu pada dunia lukis tak pernah luntur.


Akhirnya Machisu memutuskan mencurahkan seluruh hidupnya untuk melukis. Machisu pun mengikuti sekolah seni dengan uang hasil kerja kerasnya. Dia menjadi terobsesi pada lukisannya dan menutup mata dari hal lain di sekitarnya. Tetapi sayangnya, kendati dia percaya bahwa dirinya berbakat, sekali pun Machisu tak pernah mendapat award atau terkenal. Justru banyak kritikan pedas dialamatkan padanya atas hasil lukisannya, terutama dari seorang dealer seni. Dealer seni tersebut bahkan selalu memberikan saran-saran yang ekstrim untuk lukisannya. Dorongan justru datang dari seorang wanita bernama Sachiko yang kemudian menjadi istrinya dan selalu mensupportnya. Sayang, lagi-lagi kenyataan tak pernah seindah impian.

 
Film ini mengikuti kisah hidup Machisu dari anak-anak sampai tua. Tiap pemeran Machisu mampu menyuguhkan akting yang bagus. Machisu tua diperankan oleh sang sutradara sendiri, Takeshi Kitano. Pria gaek yang saya kenal lewat peran antagonis dalam Battle Royale ini, memang selalu total memerankan berbagai karakter yang dimainkannya. Kali ini perannya sebagai seorang pelukis yang terobsesi benar-benar terlihat depresif.


Kanako Higuchi sebagai pemeran Sachiko tua, mampu mengimbangi akting Kitano dengan briliant. Kedua pasangan suami istri tersebut telihat unik atau bisa dikatakan aneh karena obsesi gila Machisu. Herannya, Sachiko dengan setia dan segenap hati mendukung segala tindakan di luar "nalar" yang dilakukan Machisu. Beberapa tindakan "sedikit sinting" tersebut seperti melakukan pertarungan dengan petinju yang sebenarnya demi mendapatkan efek warna unik pada lukisan atau membenamkan kepala ke dalam bak mandi, membuat saya menyerngitkan kening cukup lama.
 

Tapi teknik melukis yang unik dan diluar nalar itu memang membuat saya terkagum-kagum. Bahkan saya langsung berujar, "Apa sebenarnya isi otak dari seorang pelukis? Kok bisa mereka mempunyai daya imajinasi yang luar biasa liar dan gila itu?". Saya sebagai orang awam yang hanya penikmat seni, dibuat terkagum-kagum dengan artwork yang indah dalam film ini.
 
Akhirnya, Akiresu to kame memang menceritakan tentang batasan antara hobi dan obsesi dan seberapa jauh pikiran manusia dapat menelaahnya. Juga tentang nilai suatu kehidupan yang disisipi dengan humor kelam yang berisi satir dan sindiran. What a depressive movie!
  
 
 
 
 IMDb










Soredemo, Boku wa Yattenai (2007)


Soredemo, Boku wa Yattenai (2007)





  Soredemo, Boku wa Yattenai (2007)
I Just Didn't Do It
Director: Masayuki Suo
Release Date: January 20, 2007
Runtime: 143 min.
Language: Japanese
Country: Japan

Cast:
Ryo Kase
Koji Yakusho
Asaka Seto
Kohji Yamamoto
Masako Motai
Ken Mitsuishi
Fumiyo Kohinata

Watched: 24 January 2013



A courtroom is nothing more than a place where they speculate whether or not 
the defendant is guilty based on collected evidence

Teppei Kaneko (Ryo Kase), tipikal pemuda pada umumnya, dituduh melecehkan seorang siswi di kereta api (chikan). Karena kasus tersebut, dia diseret ke penjara kendati sebenarnya dia terbukti tidak bersalah. Sayangnya, kenyataan tidak berpihak padanya. Para polisi memaksanya mengaku tanpa pernah memberinya kesempatan mendengar penjelasannya sekali pun. Akhirnya, sang ibu, Toyoko kaneko (Masako Motai) dan teman dekatnya, Tatsuo Saito (Kohji Yamamoto) membentuk aliansi untuk membuktikan Tappei tidak bersalah. Mereka juga menyewa seorang pengacara Masayoshi Arakawa (Koji Yakusho) yang dibantu asistennya Riko Sudo (Asaka Seto)  untuk menangani kasus Tappei tersebut. 



Dengan durasi 143 menit, sempat membuat saya menyerngitkan dahi cukup lama. Kenapa? Karena film-film Jepang memang terkenal dengan durasi yang panjang dan alur cerita yang lambat. Pada saat saya menonton film ini saya dalam kondisi yang sedikit lelah, sehingga saya tidak yakin akan bisa menyelesaikan menonton filmnya dalam sekali tonton saja. Tapi ternyata alur cerita film ini cukup cepat. Hanya dalam durasi selang beberapa menit saja, tanpa babibu, sang karakter utama, Teppei, langsung di tuduh melakukan chikan dan ditangkap oleh polisi. Menit demi berlalu dengan tegang dan akhirnya tanpa sadar, saya berhasil menamatkan menonton film ini. Wow!

 

Ryo Kase menampilkan akting yang perfect sebagai Teppei Kaneko. Terlihat sangat jelas dari raut wajahnya yang sangat sangat kesal dengan hukum yang ada tapi sebagai warga sipil, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Mimik wajahnya ketika diam dalam kekesalan mendalam itu is totally cool dimata saya. Saya mulai menyukai aktor yang satu ini sejak dia main di Hachimitsu to Clover dan Letters from Iwo Jima. Akting brilian lainnya ditampilkan oleh Koji Yakusho dan Asaka Seto sebagai dua pengacara yang membela Teppei. Tak ketinggalan Masako Motai (My Boss My Hero), Koji Yamamoto (Suteki na Kanashibari), Ken Mitsuishi (Noriko's Dinner Table), dan Fumiyo Kohinata (Suteki na Kanashibari) yang juga menunjukkan akting yang mantap. 

 
Masa-masa sidang adalah yang adegan yang paling keren menurut saya. Belum lagi adegan tersebut juga menegangkan, sama tegangnya ketika menonton film thriller atau horor. Terutama ketika Teppei dihadapkan dengan korban di persidangan. Nyaris saya berulang kali menahan nafas melihat persidangan yang dibumbui pertarungan sengit antara pengacara Teppei dengan jaksa dan hakim. Belum lagi ketika harus mencari saksi kunci dari peristiwa tersebut yang nyaris nihil di tengah sibuknya kota Tokyo yang padat. Akhirnya ketika Teppei beserta para pendukungnya melakukan reka ulang kejadian, adegan tersebut menjadi salah satu adegan favorit saya dalam film ini.


Soredemo, Boku wa Yattenai yang merupakan kisah nyata seorang Kato Hideki ini, menyajikan secara gamblang sistem hukum yang berlaku di Jepang. Salah satu yang mengejutkan adalah bahwa tidak adanya praduga tak bersalah. Padahal saya yang penggemar film-film dari negeri Sakura tersebut, selama ini mengetahui bahwa para polisi di sana sangat ramah dan tidak membebankan orang tanpa bukti yang nyata, seperti yang disajikan dalam film-film mereka. Tapi justru apa yang saya lihat dalam film ini adalah kebalikannya. Jika anda dituduh melakukan kejahatan, lebih baik anda mengaku saja lalu membayar denda, daripada anda melakukan hal sebaliknya, maka anda akan mengalami nasib yang sama seperti yang terjadi pada tokoh Teppei dalam film ini. Orang yang tak bersalah dipaksa untuk melawan ketidakadilan yang terjadi pada hukum dan undang-undang yang keliru. Bahkan di pengadilan, kita akan diperlihatkan bagaimana sosok sebenarnya para instansi hukum di negara itu yang tak jauh berbeda dengan yang ada di negeri kita sendiri.


Akhirnya, saya cuma bisa bilang bahwa saya benar-benar "stress" menonton film ini. Bahkan endingnya pun hanya bisa membuat saya menarik nafas panjang. Tapi begitulah yang terjadi dalam hidup sebenarnya tanpa rekayasa apapun. Kenyataannya memang begitulah hukum yang berlaku di dunia ini, yang menang yang punya kekuasaan dan uang. Miris!

January 26, 2013

Funuke Domo, Kanashimi No Ai Wo Misero (2007)


 Funuke Domo, Kanashimi No Ai Wo Misero (2007)







Funuke domo, kanashimi no ai wo misero(2007)
Funuke Show Some Love, You Losers!
Drama
Director: Daihachi Yoshida
Release Date: July 7, 2007
Runtime: 112 min
Language: Japanese
Country: Japan

Cast:
Eriko Sato
Aimi Satsukawa  


Setelah kematian kedua orang tuanya yang mengenaskan, Sumika Wago (Erika Sato) yang tinggal di Tokyo dan menjadi aktris kacangan kembali ke kampung halamannya. Adiknya, Kiyomi (Aimi Satsukawa) yang berbakat dalam menggambar manga, merasa takut dengan kehadiran kembali Sumika karena insiden beberapa tahun yang lalu. Banyak hal telah berubah sejak kepergian Sumika ke Tokyo meraih cita-citanya menjadi seorang aktris. Kakak tirinya, Shinji (Masatoshi Nagase), telah menikah dengan seorang wanita yatim piatu yang dikenalnya lewat acara perjodohan, Machiko (Hiromi Nagasaku) yang naif dan selalu gugup.


Sumika merasa sangat asing di kampung halamannya sendiri, terlebih melihat para penduduk desa yang terlihat tidak memiliki gairah hidup dan menjalani hari-hari yang membosankan di desa yang tenang dan tentram tersebut. Dia ingin segera kembali ke Tokyo. Sayangnya, karena beberapa hal, dia harus menetap lebih lama di desa yang masih memegang erat tradisi yang kuat. Sumika merasa dirinya terjebak di desa tersebut dan semakin frustasi. Belum lagi, konflik antar anggota keluarga terjadi.


Funuke Domo, Kanashimi No Ai Wo Misero terlihat seperti film drama umumnya, tapi sebenarnya film ini mempunyai plot cerita yang aneh dan tidak umum. Ditambah lagi karakter-karakter unik tiap pemainnya. Funuke Domo, Kanashimi No Ai Wo Misero mencoba Setiap anggota keluarga ini mencoba untuk menemukan arti hidup dan cinta dengan cara mereka sendiri. Konflik dari masa lalu dan masa kini datang silih berganti, mengungkap sebuah perselisihan antar keluarga yang penuh dengan amarah dan bentrokan dari dalam diri sendiri. Seorang aktris tak berbakat yang egois; saudari yang pendiam dan terintimidasi, namun berbakat menggambar manga horor; seorang kakak tiri yang pekerja keras dan simpatik, serta istrinya yang selalu ceria dan tanpa pamrih menjadi kombinasi karakter yang pas dalam sajian film ini. Dari para karakternya kita akan diajak bersimpati dengan keadaan mereka masing-masing tanpa bisa menyalahkan siapa pun.



Eriko Sato yang berperan sebagai Sumika mampu memainkan perannya dengan sangat baik. Lewat gesture dan mimik wajahnya saja, bahkan kita tahu bahwa karakter Sumika itu benar-benar menyebalkan dengan segala keegoisannya, atau menakutkan baik secara lisan maupun hanya lewat ekspresinya saja. Begitu juga dengan para pemain lainnya, seperti Aimi Satsukawa yang berperan sebagai Kiyomi, mampu menghidupkan karakter Kiyomi yang terintimidasi dan penuh amarah bergejolak di dalam hatinya. Masatoshi Nagase yang berperan sebagai Shinji pun tak kalah bagusnya memainkan perannya. Dan tak ketinggalan Hiromi Nagasaku yang mampu mencuri perhatian lewat perannya sebagai Machiko.


Film ini memang menyajikan unsur black comedy yang kental dengan balutan plot yang aneh dan penuh twist serta karakter yang unik dari pemainnya. Tak akan kita temukan sajian ala cerita drama opera sabun dalam film ini, dimana kejadian yang ditampilkan memang seperti apa yang terjadi di dalam kehidupan yang nyata dengan fakta yang mengejutkan. Tak pelak, sindiran sosial pun kerap muncul. Film yang hingga berakhir pun tetap membuat kita berpikir keras akan jalan ceritanya. Jelas, film ini bukan sajian tontonan yang bisa dinikmati semua orang.












Translate

Waiting Lists

Sur mes lèvres.jpg Dark, brown-tinted and horror-themed image of a man in an asbestos-removal suit (to the right side of the poster), with an image of a chair (in the middle of the image) and an image of a large castle-like building at the top of the image. The text "Session 9" is emboldened in white text in the middle of the image, and near the bottom of the image is written, "Fear is a place." Lisbeth Salander with Mikael Blomkvist The Girl Who Played with Fire.jpg Page turner.jpg Le trou becker poster3.jpg Nightwatch-1994-poster.jpg Headhunter poster.jpg On the Job Philippine theatrical poster.jpg The Song of Sparrows, 2008 film.jpg The-vanishing-1988-poster.jpg Three Monkeys VideoCover.png