December 09, 2015

The Taste of Tea | Cha no aji (2004)


The Taste of Tea (2004)






Keluarga Haruno tinggal di pedesaan daerah perfektur Tochigi, bagian Utara Tokyo. Nobuo (Tomokazu Miura) sebagai kepala rumah tangga, adalah seorang hipnoterapis. Sang istri, Yoshiko (Satomi Tezuka) tidak mau menjadi ibu rumah tangga seperti wanita kebanyakan. Dia memilih mengerjakan proyek animasi film di rumah. Yoshiko bahkan meminta bantuan mertuanya, kakek Akira (Tatsuya Gashuin) seorang lelaki tua yang eksentrik dan mantan animator sebagai asistennya. Hajime (Takahiro Sato), sebagai anak sulung yang mahir bermain Go sedang mengalami masa-masa sulit menghadapi masa puber dan hubungan dengan lawan jenis. Sedangkan Sachiko (Maya Banno) yang berusia 8 tahun selalu melihat versi raksasa dari dirinya sendiri. Tak ketinggalan, Ayano (Tadanobu Asano), paman Sachiko dan Hajime yang bekerja sebagai sound engineer dan produser rekaman, baru saja tiba dari Tokyo. Dia menceritakan pengalaman masa kecilnya yang akhirnya mempengaruhi Sachiko untuk melenyapkan alter egonya yang selalu menghantuinya. 
 
Absurd, weird, aneh, fun, lucu dan menyenangkan. Itulah kesan yang saya dapat ketika selesai menonton film The Taste of Tea ini. Keabsurdan film ini sudah terlihat dari adegan pembukanya yang menampilkan adegan kereta api yang tiba-tiba keluar dari dahi Hajime. Lalu adegan sosok raksasa dari Sachiko yang kerap hadir bersamanya di saat-saat tertentu dan adegan-adegan lainnya sepanjang film ini berlangsung. Imajinasi kita diajak menjadi 'liar' seketika. Dan untungnya, film ini disajikan dengan gaya cerita yang asik dan menyenangkan sehingga keliaran imajinasi kita semakin terasah. Jika dibuat dengan cerita yang serius, mungkin saja malah sukar untuk berimajinasi. Perasaan pun menjadi campur aduk menonton film ini. Namun yang pasti perasaan puas menyelimuti saya. And I like this movie!. Adegan-adegannya yang absurd tak pelak sering membuat saya minimal tersenyum melihatnya, bahkan tertawa terbahak-bahak. Yang paling lucu tentu saja adegan ketika rekaman lagu di studio. That scene is so funny, seriously! Walaupun yang ada di benak saya ketika adegan absurd tersebut adalah: what the hell is it?. Tak kalah absurd, lucu dan sedikit mengenaskan adalah adegan “Convenience Store Incident” di tempat makan. "Percakapan macam apa itu?" Ya, percakapan yang sukses membuat saya melongo dan kemudian seketika tertawa. Namun, cerita aneh masa kecil dari Ayano-lah yang pertama kali membuat saya seketika langsung suka dengan film ini; cerita aneh yang membuat saya melongo dan kemudian tertawa terpingkal-pingkal. 

The Taste of Tea adalah film ketiga garapan sutradara Katsuhito Ishii. Saya tidak bisa membandingkan film ini dengan kedua filmnya terdahulu karena saya belum menontonnya. Tapi yang pasti saya mulai jatuh cinta dengan karya Ishii karena film The Taste of Tea ini dan ingin menonton film-filmnya yang lain. Seperti sajian teh yang hangat, film ini menunjukkan kehangatan keluarga Haruno yang unik. Cerita tentang heartwarming family selalu mendapat tempat di hati saya. Begitu pun dengan keluarga Haruno yang secara tidak langsung mengajak kita untuk bergabung dengan mereka, menjadi bagian dari keluarga unik bin aneh tersebut. Bersetting di sebuah pedesaan yang jauh dari kota (dan saya sangat suka dengan setting seperti itu), kita akan menyaksikan bagaimana keluarga Haruno menjalani kehidupan mereka sehari-hari, lengkap dengan permasalahan yang mereka hadapi. And I like seeing them fight with their own problem and solved it by their own way. Hal-hal seperti itu memang sering ditemui dalam film berbasis slice of life seperti ini tapi justru itulah yang menarik dari film dengan tema seperti itu. Seperti ada spirit baru yang hadir selepas menonton film ini. Setidaknya itu yang saya alami. Durasi yang panjang, sama sekali tidak membuat saya bosan - padahal saya termasuk yang susah menonton film dengan durasi panjang. Alurnya terasa asik untuk diikuti. The Taste of Tea memang memberikan sentuhan yang berbeda; sangat menghibur dan menyenangkan untuk ditonton. Film yang berjudul asli Cha no Aji ini mengingatkan saya pada salah satu film favorit saya, Amélie.

Di dukung jajaran pemain yang sudah punya pengalaman akting yang mumpuni seperti Tadanobu Asano, Tomokazu Miura, Tatsuya Gashuin, Satomi Tezuka, Susumu Terajima, tentu saja menambah poin plus untuk film ini. Bahkan pemain baru seperti Takahiro Sato, Maya Banno, Anna Tsuchiya juga berakting dengan baik. Dan lihatlah jajaran additional cast-nya. Mereka adalah para aktor yang saat bermain di film ini belumlah menjadi seorang bintang besar seperti sekarang, yang bahkan kemunculannya pun di film ini mungkin akan terlewatkan begitu saja. Kenichi Matsuyama, Saki Aibu, Machiko Ono, Kase Ryo, Rinko Kikuchi. Saya bahkan harus memutar ulang film ini hanya untuk melihat di adegan mana mereka muncul.

Menyentuh, lucu, unik, aneh, imajinatif, absurd dan hangat seperti secangkir teh, The Taste of Tea adalah film yang wajib anda tonton. Film tanpa batas imajinasi yang akan membawa anda sesaat ke 'dunia lain'.








Title: The Taste of Tea / Cha no Aji | Genre: Comedy, Drama | Director: Katsuhito Ishii | Music: Little Tempo | Release dates: July 17, 2004 | Running time: 143 minutes | Country: Japan | Language: Japanese | Cast: Tadanobu Asano, Takahiro Sato, Maya Banno, Satomi Tezuka, Tomokazu Miura, Tatsuya Gashuin, Anna Tsuchiya | IMDb | Rotten Tomatoes













December 03, 2015

The Gilded Cage | La Cage Dorée (2013)


 
The Gilded Cage (2013)







Selama tiga puluh tahun, pasangan Maria (Rita Blanco) dan José Ribeiro (Joaquim de Almeida) telah tinggal di lantai dasar bangunan Haussmannian di salah satu distrik paling eksklusif di Paris. Setiap orang menyukai pasangan imigran Portugis tersebut. Suatu hari, pasangan tersebut mengumumkan keinginan mereka untuk kembali ke Portugal. Hal tersebut ternyata membuat orang-orang yang mereka kenal menjadi sedih. Orang-orang di sekitar mereka pun lalu mensabotase rencana mereka dan membuat mereka merasa menjadi bagian seutuhnya dari masyarakat Perancis. Berhasilkah rencana tersebut membuat pasangan Maria dan José untuk membatalkan rencana mereka kembali ke kampung halaman mereka?

The Gilded Cage yang berjudul asli La Cage Dorée memang mempunyai plot yang tidak original dan pasti sering ditemui dalam film yang mengangkat tentang culture clash seperti ini, tetapi penyajiannya yang fresh dengan dialog yang berkualitas, dan para pemainnya yang bermain bagus, membuat film ini enak untuk dinikmati. Film ini juga cukup lucu dan menghibur. Tak perlu berpikir rumit untuk menontonnya. Setiap adegannya terasa menyenangkan untuk dinikmati. Apalagi durasinya pun tak terlalu lama, hanya 90 menit sehingga tidak akan merasakan kebosanan kala menontonnya.

The Gilded Cage yang menggambarkan potret diri dari komunitas masyarakat Portugis di Perancis ini memang merupakan penggambaran sempurna dari generasi emigran Portugis dimana mereka adalah tipe pekerja keras, rendah hati, mencintai negara di mana mereka tinggal, namun tidak melupakan hal-hal sederhana yang mereka cintai dari negara asalnya Portugal seperti makanan-makanan yang enak atau sepakbola. Film ini pun tak luput menggambarkan hubungan antara imigran Portugal dan penduduk asli, orang tua dan anak, karyawan dan atasan, para tetangga, kekasih, dan juga sanak saudara dalam komunitas kecil yang berada di tengah kota Paris tersebut. Sedikit banyak kita sebagai penonton diajak mengenal lebih jauh tentang kehidupan para imigran Portugal tersebut di negara lain; Prancis khususnya. Dengan sentuhan komedi yang pas, semakin membuat kita enjoy untuk menikmati film ini. Adegan ketika undangan makan malam benar-benar lucu dan menghibur. Namun selain ceritanya yang penuh komedi, disisipi juga beberapa adegan yang sedih tetapi tidak serta merta merusak genre filmnya yang memang komedi. Pengambilan shot yang indah dan bagus di beberapa tempat, menambah daya tarik film ini. Sayangnya, settingnya hampir 99% persen berpusat di Paris saja. Padahal jika setting dilakukan juga di negara lain (selain Perancis dan Portugal), akan sangat sesuai dengan tema filmnya sendiri tentang imigran yang mendambakan untuk kembali ke kampung halaman mereka. Film ini terasa lebih hidup karena sang sutradara, Ruben Alves ternyata merupakan anak dari pasangan orang tua Portugis yang beremigrasi ke Perancis. Sepertinya film ini menjadi kado manis untuk kedua orang tuanya. Selain itu, Rita Blanco dan  Joaquim de Almeida merupakan aktor Portugal. Penampilan kedua pemain tersebut memang berhasil menghidupkan karakter Maria dan José dengan sangat baik, terutama Rita Blanco dengan performance-nya yang sangat bagus di film ini.

Jika anda sedang ingin menonton film dengan cerita yang simpel, fun, lucu, menghibur, menyenangkan namun juga realistik, The Gilded Cage bisa menjadi salah satu alternatif tontonan. Film yang sangat pas dinikmati di kala senggang atau ketika sedang makan.









Title: The Gilded Cage / La Cage Dorée | Genre: Comedy | Director: Ruben Alves | Release date: 24 April 2013 | Running time: 90 minutes | Country: France, Portugal | Language: French, Portuguese, English | Cast: Rita Blanco, Joaquim de Almeida, Roland Giraud, Chantal Lauby, Barbara Cabrita, Lannick Gautry | IMDb | Rotten Tomatoes














November 26, 2015

Natalie (2010)


Natalie (2010)


Warning: 18+, Contain Nudity and Sex!!! 

Natalie yang menggambarkan keindahan seorang wanita adalah hasil karya seorang pematung Hwang Jun-hyuk (Lee Sung-jae). Identitas wanita yang digambarkan dalam patung tersebut tidak diketahui. Namun, seorang pria bernama Jang Min-woo (Kim Ji-hoon) tiba-tiba muncul dan mewawancarai Jun-hyuk perihal hubungan affair-nya dengan seorang wanita bernama Oh Mi-ran (Park Hyun-jin) yang diduga sebagai model untuk Natalie. Mi-ran sendiri saat ini tidak diketahui dimana keberadaaannya. Lalu, Jun-hyuk pun mulai bercerita tentang kisah cintanya dengan Mi-ran, namun Min-woo ternyata mengetahui kisah cinta tersebut dengan cerita yang berbeda dari yang diungkapkan oleh Jun-hyuk.

Hmm.. Tanpa saya sadari, ternyata film ini ada di hardisk external saya. Ternyata 'seseorang' iseng memasukkan film ini ke hardisk saya ketika saya meminta beberapa film dari seseorang tersebut. Sebelum menghapus file film ini, alangkah baiknya mencoba menontonnya terlebih dahulu though I know this movie is a soft core movie. Dan openingnya pun sudah disuguhi dengan sex-scene selama lebih kurang 3 menit.

Natalie merupakan film 3D pertama buatan Korea. Film yang ditulis, disutradarai dan diproduseri oleh Ju Kyung-jung ini menampilkan cerita yang berfokus pada kisah cinta segitiga ketiga karakter utamanya. Adegan dalam film ini berbaur antara adegan masa kini dengan flashback yang dibumbui dengan percakapan panjang kedua karakter utama pria tentang karakter utama wanita. Dari percakapan tersebut kita diajak untuk menerka-nerka, ucapan siapakah yang benar tentang kisah cinta kedua pria tersebut dengan sang karakter wanita. Natalie is not bad tapi juga nggak bagus, yeah.. just so so. Film ini masih punya jalan cerita yang ingin disampaikan walaupun plot hole-nya masih terlalu banyak di sana-sini. Tapi tentu saja, bukan jalan cerita yang menjadi fokus utama dari film ini. Toh, saya yakin kebanyakan penonton (laki-laki) tentunya hanya fokus pada adegan ranjangnya saja. Terlebih karena pemain utama wanitanya memang cantik dan mempunyai tubuh yang aduhai. Tapi untuk penonton wanita mungkin akan sedikit agak kecewa karena sang aktor Kim Ji-hoon yang mempunyai wajah yang cukup tampan sama sekali tidak melakukan sex-scene di film ini. 

Jika anda hanya ingin menonton soft core movie, film ini sayang untuk dilewatkan karena seperti yang saya katakan sebelumnya, aktris yang membintangi film ini sangat cantik dan seksi sehingga akan sangat memanjakan mata anda. Jika anda mencari soft core movie yang mempunyai jalan cerita, film ini masih bisa masuk kategori yang layak untuk ditonton. Dan pemilihan lagu untuk ending-nya sangat tepat untuk adegan terakhir film ini.





Title: Natalie / 3D Natali / Natalri | Genre: Mystery, Romance | Director: Ju Kyung-jung | Music: Si Kyung-won |  Release Date: October 28, 2010 | Running Time: 88 minutes | Language: Korean | Country: South Korea | Cast: Lee Sung-jae, Kim Ji-hoon, Park Hyun-jin, Kim Gi-yeon | IMDb



 










October 14, 2015

A Coffee in Berlin (2012)


A Coffee in Berlin (2012)








Seorang pemuda bernama Niko (Tom Schilling) drop out dari universitasnya dan berakhir dengan menyusuri jalanan di kota Berlin, bertemu dengan berbagai macam orang dalam berbagai kejadian. Namun, dia merasa dirinya terasing dan tidak mempunyai tempat dimana pun berada.  
Disajikan dalam visual hitam putih, film ini memang terlihat akan menyajikan sinematografi yang indah dengan pengambilan shot-shot yang tak kalah indah dan menarik. Tak salah memang tebakan saya, hanya saja shot-shot tersebut terasa kurang banyak, terutama pengambilan shot tentang kota Berlin itu sendiri. Saya berharap dengan adanya kata 'Berlin' dalam judul film ini, maka sangat diharapkan kota Berlin itu sendiri tereksplor lebih luas lagi. Namun sepertinya film ini memang lebih mengkhususnya pada cerita tentang keterasingan diri ketimbang mengeksplor keindahan kota Berlin. Jika saja kota Berlin tersebut di eksplor lebih, pasti akan lebih menarik lagi.

Ya, film yang aslinya berjudul Oh Boy ini memang menceritakan tentang seorang Niko yang mengalami hari-hari yang mungkin bisa dikatakan tanpa gairah hidup, tanpa tujuan pasti atau mungkin bisa dikatakan belum mengetahui tujuan hidupnya. Film ini menggambarkan tentang kehidupan seseorang yang tidak dapat menemukan tempatnya sendiri di sekeliling orang-orang yang ditemuinya dalam hidupnya. Bagaimana dia merasakan bahwa orang-orang tersebut menjadi sosok-sosok yang asing baginya, namun sejatinya justru dirinya sendirilah yang menjadi sosok asing bagi dirinya sendiri. Berbagai kejadian yang tak biasa kerap terjadi pada dirinya dengan interaksi yang kadang terasa absurd dan lucu dengan orang-orang yang ditemuinya. Sebuah potret diri yang terkesan ironis bahkan mungkin bisa dikatakan tragis dari seseorang yang sedang kebingungan dan kesulitan mencari tempat untuk dirinya. Keterasingan kerap melanda dimana pun dia berada. Film ini pun seolah menggambarkan bagaimana orang-orang saat ini merasa tidak nyaman dan takut sendirian. Kesendirian adalah merupakan momok yang paling menakutkan dan bagaimana kesendirian tersebut membuat takut banyak orang mengalaminya; karena tak seorang pun ingin sendiri di dunia ini - tentu saja. Hal tersebut terpampang jelas dalam salah satu scene tentang tetangga baru Niko. That scene is horrible and also hilarious at the same time. 

Pertemuan Niko dengan setiap orang yang ditemuinya selalu menimbulkan sensasi penasaran bagi saya seperti apa nantinya akhir ceritanya dengan orang-orang yang ditemuinya tersebut. Seperti ketika Niko bertemu teman semasa sekolahnya,  Julika Hoffmann (Friederike Kempter) yang dulu pernah diejeknya dengan panggilan Roly Poly Julia karena dulunya gendut, atau ketika dia bertandang ke rumah salah satu kenalan dari temannya Matze (Marc Hosemann) dan ngobrol dengan nenek dari kenalannya tersebut. Pertemuan-pertemuan tersebut berlangsung dengan ke-absurd-an yang diselingi komedi di dalamnya. Namun tak jarang tragedi juga terjadi dalam pertemuan tersebut; sama seperti kehidupan yang penuh warna ini.

Tom Schiling yang malah saya kenal duluan lewat perannya di Who Am I - Kein System ist Sicher (2014), bermain sangat bagus memerankan karakter Niko di film ini. Segala gerak-gerik dan gesture yang ditunjukkannya sangat sesuai dengan karakter Niko yang terlihat seperti tidak mempunyai gairah hidup, malas, frustasi dan tanpa tujuan hidup. Namun, di lain waktu karakter Niko tersebut bisa menjadi karakter yang loveable; salah satunya bisa dilihat dalam scene ketika dia bersama dengan nenek kenalannya tersebut. Dan lagi-lagi kesepian dan kesendirian tergambar jelas dalam scene tersebut. Scene yang juga sukses membuat sejenak mata saya berkaca-kaca.

Dan saya suka, suka sekali dengan film ini. Mungkin juga karena saya pun pernah dan sering mengalami hal yang sama dengan karakter utamanya sehingga saya bersimpati pada karakter Niko tersebut. Selain itu visual hitam putihnya terkesan klasik dan menjadikan film ini semakin menarik. Dipadu dengan sajian musiknya yang jazzy, semakin membuat saya sangat menikmati film ini. A Coffee in Berlin adalah sajian drama tragicomedy penuh komedi satir yang patut anda coba. Ditemani dengan 'kopi' yang ternyata butuh perjuangan untuk mendapatkannya - itulah mungkin kenapa endingnya seakan menimbulkan persepsi berbeda tiap penonton yang menontonnya. Mungkin saja anda akan menemukan tujuan hidup anda yang sebenarnya setelah menonton film ini.





Title: A Coffee in Berlin / Oh Boy | Genre: Drama | Director: Jan Ole Gerster | Release Date: 1 November 2012 | Running Time: 86 minutes | Country: Germany |  Language: German, English | Cast: Tom Schilling, Marc Hosemann, Friederike Kempter,  Justus von Dohnányi, Katharina Schüttler | IMDb | Rotten Tomatoes







July 13, 2015

Metro Manila (2013)


Metro Manila (2013)






Oscar Ramirez (Jake Macapagal) adalah petani miskin yang membawa keluarganya ke kota Manila demi kehidupan yang lebih baik. Namun, harapan tak selamanya sesuai keinginan. Baru saja tiba di kota, mereka malah tertipu sehingga mereka terpaksa tinggal di sebuah lingkungan kumuh. Akhirnya demi bertahan hidup, Oscar pun melamar pekerjaan di perusahaan truk lapis baja sedangkan istrinya Mai (Althea Vega) menjadi hostess disebuah klub. Akankah harapan untuk kehidupan yang lebih baik akan didapatkan oleh Oscar dan keluarganya? 
Metro Manila sebenarnya bukanlah hasil karya sutradara Filipina melainkan disutradarai oleh sutradara asal Brighton, Sean Ellis yang terkenal lewat film Cashback (2004). Namun begitu, cita rasa ala Filipino memang kental terasa di film ini mulai dari para pemainnya, bahasanya hingga kultur budayanya. Bahkan jika tidak mencari info tentang film ini, malah kita mungkin menyangka film ini adalah film buatan Filipino asli. Sepertinya fenomena sutradara asing (baca: west) untuk membuat dan menyutradarai film di negara lain seperti Asia sedang marak. Seperti Gareth Evans dalam The Raid. Begitu juga Sean Ellis yang membidik Filipina dengan Metro Manila-nya. 

Metro Manila menampilkan bagaimana Filipina sebenarnya dimana kemelaratan masih melanda negara ini, bahkan menjadi masalah yang serius terutama di ibukota Manila. Tak jauh beda dengan negara kita sendiri tentunya. Film ini dengan asiknya mengajak kita ‘menikmati’ carut marut Manila dan menjerumuskan kita ke dalam dunia yang kacau balau’. Lihatlah bagaimana hal tersebut memaksa sebuah keluarga miskin dari desa seperti Oscar untuk bermigrasi ke kota demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka merasa bahwa kota besar seperti Manila akan memberikan apa yang mereka inginkan. Namun kenyataan itu pahit, dude! Baru saja tiba di kota, mereka sudah kena tipu. Dan untuk bertahan hidup, tentu saja segala cara dilakukan. Seperti Mai yang akhirnya harus menjadi hostess di sebuah bar. Sebenarnya bisa saja dia melamar pekerjaan lain seperti menjadi waitress misalnya, namun dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang rendah, menjadi hostess memang lebih menggiurkan pendapatannya dan mudah pekerjaannya. Ya, lagi-lagi kemiskinan menjadi hal yang membuat siapa saja rela berbuat apa saja demi sesuap nasi. Seperti ungkapan Ong (John Arcilla), rekan Oscar: “This is the Wild West!”. Yeah, life is hard, cruel and suck!. However, we still have to survive, right?. Itulah yang ingin digambarkan oleh film ini; a story of struggle. And it's horror! Ya, horor dalam tanda kutip, terutama ketika kita disajikan gambaran tentang kehidupan orang-orang yang miskin dan kekurangan dengan perpaduan indah korupsi dan kekerasan yang kerap hadir. Ya, Metro Manila menyajikan semuanya untuk anda; kombinasi lengkap dari drama keluarga, sosial, dan crime thriller dengan menyisipkan sedikit action yang sayang untuk dilewatkan.







Title: Metro Manila | Genre: Crime, Drama | Director: Sean Ellis | Music: Robin Foster | Release date(s): January 20, 2013 (Sundance), September 20, 2013 (United Kingdom), October 9, 2013 (Philippines) | Running time: 114 minutes | Country: United Kingdom,  Philippines | Language: Filipino | Cast: Jake Macapagal, Althea Vega, John Arcilla | IMDb | Rotten Tomatoes













June 30, 2015

The Ladykillers (1955)


The Ladykillers (1955)






Professor Marcus (Alec Guinness) yang mengaku sebagai profesor musik, menyewa kamar di sebuah rumah di London. Rumah tersebut adalah milik Mrs. Louisa Alexandra Wilberforce (Katie Johnson), seorang janda tua eksentrik yang tinggal bersama burung beonya. Marcus mengatakan bahwa teman-teman sesama rekan musisinya akan datang mengunjunginya setiap saat untuk berlatih. Namun sebenarnya, Marcus dan rekan musisinya sama sekali tidak bisa memainkan musik karena mereka sebenarnya adalah komplotan perampok. Mereka menjadikan kamar Marcus sebagai markas untuk merencanakan perampokan dengan memanfaatkan Mrs. Wilberforce.

It's hilarious funny! Kata yang paling tepat untuk film ini. Film ini benar-benar menghibur dan sangat lucu. Sudah lama sekali rasanya saya menonton film yang berhasil membuat saya tertawa terpingkal-pingkal seperti ini. Beberapa adegannya memang slapstick tapi anehnya sangat lucu menurut saya. Melihat tingkah polah Mrs. Wilberforce yang sebenarnya cukup annoying tersebut ketika kerap kali mengganggu kegiatan para perampok tersebut, benar-benar lucu dan menghibur. The Ladykillers dapat dikatakan sebagai penggambaran dari kondisi Inggris pasca perang yang tentu saja dipenuhi kedamaian dan ketentraman. Namun begitu tetap saja tidak semua orang siap menghadapi hal tersebut. Korupsi pun menjadi sesuatu yang tak terelakkan juga. Golongan masyarakat juga terbagi dalam beberapa golongan. Hal tersebut dapat tercermin dari karakter-karakter yang ada dalam film ini yang mewakili berbagai golongan masyarakat tersebut. Karakter seperti Mrs. Wilberforce merupakan golongan tua yang semakin jarang untuk ditemui dan pastinya tak akan ada yang percaya dengan seorang nenek tua seperti beliau yang akan melakukan tindak kejahatan dan korupsi, kan? Ya, penggambaran seperti itulah yang kira-kira tertuang dalam film ini. Dibalut dengan black comedy yang kental, film ini tentu saja akan gampang dinikmati.

Katie Johnson tentu saja yang paling sukses mencuri perhatian dalam film ini. Karakter si nenek tua menyebalkan yang keras kepala dari sudut pandang para perampok, polisi dan penjual buah begitu pas diperankannya. Adegan di pasar yang membuat repot banyak orang tersebut menjadi bukti betapa si nenek ini sangat sangat annoying dan membuat sakit kepala. Namun begitu, akan ada perasaan kesal, iba, sekaligus sayang melihat sosok seperti beliau tersebut. Karakter Mrs. Wilberforce sendiri mengingatkan saya pada almarhum nenek saya yang sama-sama annoying dan keras kepala. Memang begitulah orang tua, sifatnya persis seperti anak-anak lagi. Alec Guinness dan para pemain lainnya juga bermain dengan sangat bagus di film ini. Tak ada yang perlu diragukan lagi dari akting keren para pemain The Ladykillers ini baik dari pemain utama maupun pemain pendukung semua bermain dengan sangat bagus.

Film ini telah diremake oleh hollywood (yeah, again!) pada tahun 2004 lalu dengan Tom Hanks sebagai salah satu pemainnya. Namun percayalah, tidak akan ada yang bisa menandingi versi originalnya yang sangat bagus ini; dengan humornya yang tetap menghibur dan sangat lucu (walau beberapa mungkin ketinggalan jaman). The Ladykillers bukanlah tipe film yang bisa dibuat lagi. Itulah kenapa remakenya gagal total. Finally, The Ladykillers is one of the best funny British films of all time. Recommended!.







Title: The Ladykillers | Genre: Comedy, Crime | Director: Alexander Mackendrick | Music: Tristram Cary | Release dates: 8 December 1955 | Running time: 97 minutes | Country: United Kingdom | Language: English | Cast: Alec Guinness, Katie Johnson, Herbert Lom, Peter Sellers, Danny Green, Cecil Parker , Jack Warner, Frankie Howerd | IMDb | Rotten Tomatoes







June 14, 2015

Priceless | Hors de prix (2006)


Priceless (2006)





Jean (Gad Elmaleh), adalah seorang bartender di sebuah hotel mewah. Namun Irene (Audrey Tautou), seorang wanita materialistis, malah keliru menyangkanya adalah seorang pria kaya raya. Ketika Jacques (Vernon Dobtcheff), pacar Irene yang kaya dan tua sedang mabuk dan tertidur pulas di kamar hotel, Irene pergi ke bar hotel dimana Jean bekerja dan mereka bertemu. Setelah berhasil membuat Irene terkesima, Jean dan Irene lalu menghabiskan malam bersama. Karena ketahuan selingkuh, Irene pun diputuskan. Setahun kemudian mereka bertemu lagi dan saat itu Irene tahu bahwa Jean bukanlah pria kaya. Jean sendiri kemudian malah berhubungan dengan seorang janda kaya, Madeleine (Marie-Christine Adam). Keduanya akhirnya menjalin hubungan dengan pasangan mereka hanya demi uang semata. Namun perlahan mereka menyadari bahwa mereka saling menyayangi, tapi dapatkah mereka menjalani kehidupan yang lebih baik tanpa uang?

Ratingnya yang cukup tinggi di dua situs film bergengsi tentulah menjadi bahan pertimbangan saya untuk mencoba menonton film ini. Apalagi pemain utamanya adalah aktris favorit saya, Audrey Tautou. Dengan ekspektasi tinggi, saya mengharapkan kenikmatan begitu menontonnya. Tapi apa yang saya dapat? Kecewa! Ya, kecewa! Ceritanya benar-benar predictable, dengan adegan-adegan yang terasa sangat familiar ditemukan di film-film bertema romance. Kisah cintanya bahkan terbilang lebay menurut saya. Joke-nya juga tidak lucu sama sekali. Belum lagi durasinya yang terlalu lama untuk ukuran sebuah film romance. Ough! Kalau saja bukan karena Tautou, mungkin sudah saya stop film ini di menit ke tiga puluh.

Entahlah, sepertinya formula romance di film ini tidak sesuai untuk saya. Kebosanan akut melanda saya sepanjang film ini berlangsung. Harusnya film ini bisa menghibur, malah sebaliknya, membuat saya jadi dongkol menontonnya. Yang menyelamatkan saya hanyalah akting keren para pemainnya saja. Audrey Tautou yang terkenal lewat imagenya sebagai Amelie Poulain, berhasil keluar dari image tersebut dan sukses menjadi seorang  Irène Mercier di film ini. Gad Elmaleh juga menunjukkan performa yang bagus. Chemistry mereka berdua cukup bagus. Namun sayangnya, kekonyolan demi kekonyolan yang dilakukan tidak berhasil membuat saya tertawa. Ah, this movie is just overrated for me! Tapi film ini punya pesan yang cukup bagus, "money can't buy love", sesuai dengan judul filmnya sendiri. Jika anda penggila film romance sejati, sepertinya film ini akan sangat cocok untuk anda, tetapi jika bukan, sebaiknya hindari menonton film ini jika anda tidak ingin merasakan sensasi kebosanan tingkat dewa seperti saya.









Title: Priceless / Hors de prix  | Genre: Comedy, Romance | Director: Pierre Salvadori | Music: Camille Bazbaz | Release dates: November 18, 2006 | Running time: 104 min. | Country: France | Language: French | Cast: Gad Elmaleh, Audrey Tautou, Marie-Christine Adam, Vernon Dobtcheff | IMDb | Rotten Tomatoes




May 21, 2015

A Cube of Sugar | Ye Habe Ghand (2011)


A Cube of Sugar (2011)







Sebagai anak bungsu dalam keluarga besarnya, Pasandideh (Negar Javaherian) terkenal sebagai gadis baik, penurut dan penyayang keluarganya. Dia selalu bisa diandalkan untuk mengurus ibu, paman dan bibinya. Beberapa hari lagi dia akan menikah dengan seorang pria yang tinggal di luar negeri. Kakak-kakaknya beserta para suami dan anak-anak mereka masing-masing datang untuk membantu menyiapkan acara pernikahan adik bungsunya tersebut.

Satu kata setelah selesai menonton film ini: menyesal! Ya, saya menyesal! Menyesal kenapa baru sekarang menontonnya! Film ini begitu memikat hati saya. Saya benar-benar jatuh cinta dengan film ini. Setiap adegan di dalam film ini begitu berkesan dan membuat saya sangat menikmatinya sekali. Seyyed Reza Mir-Karimi sebagai sang sutradara begitu pintar meramu film ini sedemikian rupa. Bersetting di sebuah rumah tua yang besar di pedesaan lengkap dengan kolam dan kebun buah-buahan di sebuah kota tua di Iran, suasana harmonis keluarga besar Pasandideh seolah membuat kita ingin bergabung dengan mereka di rumah tersebut. Rumah tersebut merupakan milik paman Ezzatolah (Saeed Poursamimi), kepala keluarga dan yang dituakan di keluarga tersebut. Untuk setting rumahnya sendiri ternyata sengaja dibuat sedemikan rupa oleh para kru film karena tidak ditemukan desain rumah yang sesuai dengan keinginan sang sutradara. 

Suasana keakraban keluarga besar yang tengah berkumpul karena akan adanya hajatan besar menjadi pemandangan yang pasti tidak asing kita temui juga di tengah-tengah masyarakat kita, terutama di daerah pedesaan. Terlihat para wanita sibuk memasak, menjahit bahkan menggosip. Sedangkan para pria saling mengobrol tentang kehidupan mereka masing-masing terutama tentang istri mereka. Lalu yang remaja akan sibuk dengan gadget mereka dan terlihat sibuk dengan diri mereka masing-masing dan tidak peduli dengan sekeliling. Anak-anak tentu saja asik bermain, berlarian ke sana kemari. Suasana seperti itu diperlihatkan Reza Mir-Karimi dengan sangat baik. Itulah mengapa saya katakan bahwa kita sebagai penonton seakan ingin membaur bersama dengan keluarga Pasandideh tersebut dan menjadi salah satu bagian dari mereka. Semua terlihat bahagia dan kita pun seakan larut dalam kebahagiaan yang mereka rasakan - walaupun sebenarnya ada juga sedikit hal-hal yang kurang membahagiakan namun tetap tidak merusak mood kebahagiaan tersebut. Saya jadi merasa seperti sedang menonton dokumenter keluarga yang akan mengadakan acara pernikahan ketimbang menonton film yang penuh dengan script dan akting. Ya, itulah hebatnya Reza Mir-Karimi mengarahkan tiap pemain di film ini untuk berakting sebaik mungkin, mulai dari pemain yang sudah punya nama besar hingga pemain anak-anak yang amatiran; semuanya bermain dengan sangat bagus. Menariknya, tak ada karakter yang paling menonjol disini, semua mendapat jatahnya masing-masing dengan porsi yang pas. 


Namun, anda jangan membayangkan kebahagiaan berlangsung sepanjang film ini. Tidak! Seperti halnya kehidupan, ada kebahagiaan tentu juga akan ada kesedihan. Seperti judulnya sendiri 'A Cube of Sugar', kehidupan itu tidaklah terus-terusan 'semanis gula', namun justru itulah warna-warni kehidupan. Paruh kedua film ini berlangsung, memang atmosfir yang tadinya ceria berubah seketika. Dan lagi-lagi kita sebagai penonton dipaksa untuk ikut andil merasakan apa yang terjadi pada keluarga besar tersebut. Cepat, nyaris tanpa diberi jeda waktu sedikit pun untuk menghela nafas memahami keadaan yang tiba-tiba berubah 360 derajat tersebut. Ah, sudahlah saya tidak mau membeberkan lebih detail lagi, takut spoiler. Lebih baik anda menonton saja sendiri. Akhirnya saya hanya ingin mengatakan bahwa saya jatuh cinta dengan film A Cube of Sugar ini. Jatuh cinta dengan ceritanya, dengan para pemainnya, dengan sinematografinya, dengan musiknya, dengan kostumnya, ah pokoknya semua yang ada di film ini.  Dan  A Cube of Sugar telah menjadi salah satu film Iran favorit saya. Mungkin saya akan menonton film ini lagi nantinya untuk menikmati kembali suasana keakraban keluarga besar Pasandideh. Recommended!





Title: A Cube of Sugar / Ye Habe Ghand | Genre: Drama, Family | Director: Seyyed Reza Mir-Karimi | Cinematography:  Hamid Khozouie Abyaneh | Release dates: 8 October 2011 (BIFF) | Running time: 116 minutes | Country: Iran | Language: Persian | Cast: Negar Javaherian, Farhad Aslani, Saeed Poursamimi, Rima Raminfar, Puneh Abdolkarim-Zadeh, Amir Hossein Arman, Shamsi Fazlollahi | IMDb









Translate

Waiting Lists

Sur mes lèvres.jpg Dark, brown-tinted and horror-themed image of a man in an asbestos-removal suit (to the right side of the poster), with an image of a chair (in the middle of the image) and an image of a large castle-like building at the top of the image. The text "Session 9" is emboldened in white text in the middle of the image, and near the bottom of the image is written, "Fear is a place." Lisbeth Salander with Mikael Blomkvist The Girl Who Played with Fire.jpg Page turner.jpg Le trou becker poster3.jpg Nightwatch-1994-poster.jpg Headhunter poster.jpg On the Job Philippine theatrical poster.jpg The Song of Sparrows, 2008 film.jpg The-vanishing-1988-poster.jpg Three Monkeys VideoCover.png