December 27, 2016

A Man Called Ove | En Man Som Heter Ove (2015)


A Man Called Ove (2015) 
En Man Som Heter Ove 




Parvaneh: "I have thought of one thing".
Ove: "Stop Boasting".





Swedia merupakan salah satu negara yang menghasilkan film-film bagus nan bermutu. Sebut saja Persona, The Girl With The Dragon Tattoo, Let the Right One In, dan masih banyak lagi yang lain. Dan kali ini Swedia mempersembahkan sebuah film yang menjadi perwakilan untuk Best Foreign Language Film at the 89th Academy Awards berjudul asli En Man Som Heter Ove atau A Man Called Ove. Film A Man Called Ove berdasarkan buku karya Fredrik Backman dengan judul yang sama.

A Man Called Ove menceritakan tentang lelaki tua bernama Ove (Rolf Lassgard) yang keras kepala, cepat marah, strict, dan menganggap semua orang di sekitarnya idiot. Ove hanya peduli dengan penegakan aturan di blok tempat tinggalnya. Setiap hari Ove mengunjungi makam istrinya, Sonja (Ida Engvoll) dan memutuskan untuk segera menyusul Sonja dengan mengakhiri hidupnya secepat mungkin. Namun, ada saja hal-hal yang membuat Ove terpaksa membatalkan keinginannya untuk bunuh diri. Suatu hari, Ove kedatangan tetangga baru yang pindah; seorang wanita asal Timur Tengah yang sedang hamil, Parvaneh (Bahar Pars) beserta suami dan kedua anak perempuannya. Tanpa disadari, Ove menjalin pertemanan dengan tetangga barunya tersebut yang ternyata sedikit banyak memberikan pandangan berbeda tentang hidup.

Membaca sinopsis filmnya, mungkin bagi sebagian orang terlihat sangat tidak menarik. Hanya bercerita tentang seorang pria tua pemarah dan keras kepala. Apa menariknya coba? Hei, jangan salah, justru disitulah letak menariknya film ini. Walau tak ada yang benar-benar baru dalam film ini, namun film ini dikemas sedemikian rupa sehingga alur ceritanya begitu asik untuk diikuti. Kita diajak untuk mengenal sosok Ove lebih dekat. Anda pun pasti akan sering menemukan sosok seperti Ove dalam kehidupan sehari-hari. Sosok tua yang pemurung, kesepian, tidak ramah, selalu menolak segala hal yang berbau modernisme dan sosok yang bagi sebagian orang akan terlihat sangat menyebalkan. Namun sebenarnya, Ove adalah sosok yang baik hati, perhatian dan selalu menjunjung kebenaran. Kita pun akan diajak melihat kehidupan sehari-hari Ove, interaksinya dengan para tetangga dan orang-orang sekitarnya. Hal-hal lucu kerap kali terjadi antara Ove dan orang-orang di sekitarnya, terutama karena perbedaan prinsip, dimana Ove selalu mempertahankan prinsip kolotnya dan menentang inovasi-inovasi baru yang tidak sesuai dengan prinsipnya. Adanya adegan flashback menambah warna dalam film ini. Sajian black comedy yang turut hadir dalam film ini tak jarang membuat saya tersenyum dan tertawa. Hannes Holm sebagai sang sutradara meramu cerita dalam film ini sedemikian rupa sehingga terkadang tanpa sadar kita telah larut dalam kisah yang dipaparkan dalam film ini. Senang dan sedih tak jarang dirasakan bersamaan. Saya bahkan tanpa sadar meneteskan air mata dalam sebuah scene, padahal saya baru saja tertawa dalam scene sebelumnya. 

A Man Called Ove semakin bagus dengan akting dari Rolf Lassgard sebagai Ove tua. Beliau mampu membuat kita kesal, benci sekaligus sayang pada sosoknya. Lalu ada Bahar Pars yang cukup mencuri perhatian sebagai sosok Parvaneh. Filip Berg sebagai Ove muda dan Ida Engvoll sebagai Sonja turut melengkapi jajaran cast dalam film bagus ini.

A Man Called Ove memang hanya sebuah drama sederhana tentang potret kehidupan, namun film ini sarat makna. Sebuah film yang mengajarkan kasih sayang satu sama lain meskipun berbeda jenis kelamin, latar belakang etnis, bahkan preferensi seksual. Sebuah film yang jujur yang mungkin akan membuat anda turut serta dalam kehidupan para karakter di dalamnya. Jika anda tertarik, tak ada salahnya mencoba menonton film ini. Ya, sesekali cobalah keluar dari jalur mainstream tontonan anda walaupun anda hollywood freak, korean freak, penggemar cerita super hero atau film-film penuh super effectIt's worth watching. Saya mendadak ingin membaca novelnya setelah selesai menonton film ini.









Title: A Man Called Ove | Original Title: En Man Som Heter Ove | Genre: Drama, Comedy | Based on Book A Man Called Ove by Fredrik Backman | Director: Hannes Holm | Running time: 116 minutes | Country: Sweden | Language: Swedish  | Cast: Rolf Lassgård, Bahar Pars, Filip Berg, Ida Engvoll | IMDb | Rotten Tomatoes







November 11, 2016

A Short Film About Killing | Krótki film o zabijaniu (1988)


A Short Film About Killing (1988) 
Krótki film o zabijaniu 

What A Beautiful Dark Film About Killing!




Jacek Lazar: I didn't listen in court, not until you called to me. They were all... all against me.
Piotr Balicki: Against what you did.
Jacek Lazar: Same thing..





A Short Film About Killing bercerita tentang tiga karakter sentral yang nantinya akan saling berhubungan melalui suatu kasus. Waldemar Rekowski (Jan Tesarz) adalah seorang supir taksi gendut yang sangat menikmati kebebasan dan pekerjaannya. Dia menyukai seorang gadis muda, dan dia membenci kucing dan anjing. Jacek Lazar (Miroslaw Baka) adalah seorang pemuda dari desa yang baru tiba di Warsama dan berkeliaran di kota tanpa tujuan yang jelas. Piotr Balicki (Krzysztof Globisz) adalah seorang pengacara muda idealis yang baru lulus ujian. 

Aura kelam, disturbing dan violent langsung terlihat dari opening film ini dimana terlihat ada adegan tikus mati dan seekor kucing yang digantung. Selain itu pemilihan tone warna yang digunakan juga cenderung gelap. Hal tersebut tentu sejalan dengan judul film ini sendiri. Sebagai informasi, film ini merupakan expanded dari sebuah serial televisi terkenal di Polandia berjudul Dekalog dalam episode Dekalog: Five arahan sutradara Krzysztof Kieślowski. Sang master Kieslowski, saya kenal awalnya lewat trilogi Three Colors yang begitu indah dan berseni. Di susul kemudian, Blind Chance dan The Double Life of Veronique yang memukau saya. Dan lewat film ini, saya semakin yakin bahwa beliau memang salah satu sutradara handal yang selalu menghasilkan film-film bagus dan bermutu yang indah, berseni dan berkelas. Keindahan A Short Film About Killing terlihat dari visual dan ceritanya (walaupun bertema pembunuhan). Sinematografinya begitu indah. Saya suka dengan tampilan gelap di sudut frame kamera - saya tidak paham istilahnya - yang memakai filter hijau. Tampilan yang gelap dan suram tersebut seolah memaparkan suasana hati  dan kehidupan yang suram. Shot-shot yang diambil juga bagus, unik, dan indah. Tak henti-hentinya saya mengagumi keindahan sinematografi yang dihasilkan oleh Sławomir Idziak ini. Keindahan film ini juga didukung oleh backsound musik yang tak kalah memukau olah karya Zbigniew Preisner

A Short Film About Killing menampilkan tensi ketegangan yang semakin lama semakin meningkat, terutama ketika adegan pembunuhan terjadi. Pembunuhan tersebut di shot dengan brutal, sadis, dan kejam secara mendetail dalam rentang waktu sekitar 8 menit. Kita akan tahu bahwa memang ada sesuatu yang salah dari sang pembunuh tersebut. Lihatlah bagaimana dia begitu senang dan menikmati melakukan hal-hal yang mengganggu kenyamanan orang lain seperti melempar batu dari atas jembatan ke arah jalan raya yang dilalui oleh kendaraan di bawahnya sehingga menyebabkan kecelakaan atau membuat kesal seorang wanita tua yang memberi makan merpati-merpati di taman dengan menghalau merpati-merpati tersebut. Namun, sayang motif pembunuhan yang dilakukan sang pembunuh tidak diungkapkan dalam film ini. Sepertinya sengaja dibuat begitu agar menonton serial televisinya. Atau memang sengaja tidak diungkap motif pembunuhannya agar penonton nantinya tidak merasa kasihan atau bersimpati pada sang pembunuh. Tapi sebenarnya kita bisa menebak-nebak sendiri tentang motif pembunuhannya dari adegan-adegan yang dipaparkan dalam film ini; salah satunya adalah (mungkin) faktor cemburu dimana sang pembunuh dekat dengan seorang wanita muda yang sering dirayu oleh sang korban. Atau mungkin memang sang pembunuh adalah seorang psikopat keji nan sadis yang membunuh tanpa motif apapun. Atau mungkin juga karena kondisi psikologisnya sedang tidak stabil karena frustasi, kesepian atau kecewa. Untuk alasan yang terakhir, bisa dilihat dari sesi curhat sang pelaku dengan pengacaranya ketika akan dieksekusi. Apalagi jika mengingat bahwa sang pelaku sempat menangis ketika membunuh korbannya.

Ada dua pembunuhan yang dijabarkan dalam film ini yang masing-masing dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah pembunuhan yang sadis, keji dan brutal, sedangkan pembunuhan kedua adalah pembunuhan yang disengaja dieksekusi karena tindak kriminal. Jika membandingkan keduanya, sebenarnya tidak ada yang berbeda. Keduanya sama-sama menimbulkan perasaan campur aduk yang tidak mengenakkan. Itulah mengapa film ini menuai pro dan kontra. Ya, A Short Film About Killing bukanlah film yang dapat dinikmati oleh semua orang. Film ini terlalu berat dan kelam, baik dari temanya sendiri maupun karakter-karakternya. Dan Kieślowski memang ingin menunjukkan bahwa seperti itulah realitas kehidupan. Namun, jika anda penikmat sebuah film bagus, berkelas dan berseni, anda wajib menonton film ini. Tak salah jika film ini memenangkan Jury Prize di Cannes Film Festival 1988 dan masuk sebagai Best Film dalam European Film Award 1988A Short Film About Killing is truly a masterpiece. Worth watching!.






Title: A Short Film About Killing / Krótki film o zabijaniu | Genre: Crime, Drama | Director: Krzysztof Kieślowski | Music: Zbigniew Preisner | Cinematography: Sławomir Idziak | Release dates: 11 March 1988 | Running time: 84 minutes | Country: Poland | Language: Polish | Cast: Mirosław Baka, Krzysztof Globisz, Jan Tesarz, Zbigniew Zapasiewicz , Krystyna Janda | IMDb | Rotten Tomatoes






November 03, 2016

Doctor Strange (2016)


Doctor Strange (2016)

Not too bad. Better Watched in 3D.




"I don't know what my future holds. But I can't go back".
- Dr. Stephen Strange -








Doctor Stephen Strange (Benedict Cumberbatch) adalah seorang ahli bedah saraf yang jenius, berbakat dan sedikit arogan. Banyak kasus rumit para pasien yang dapat ditanganinya. Namun, sebuah kecelakaan membuat kedua tangannya menjadi tidak dapat berfungsi normal lagi. Di tengah keputusasaan, Strange mencoba mencari keajaiban dengan mendatangi Kamar-Taj di Nepal yang konon dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Kamar-Taj yang dipimpin oleh Ancient One (Tilda Swinton) tersebut mengajarkannya banyak hal terutama menghilangkan ego dan arogansinya, disamping harus mempelajari rahasia dunia sihir yang tersembunyi untuk menjadi bekal menghadapi mantan murid Ancient One yang berkhianat, Kaecilius (Mads Mikkelsen) dan menggunakan segala kemampuannya untuk menjadi perantara antara dimensi manusia dan dimensi lainnya

Jujur, saya sebenarnya kurang tertarik untuk menonton film-film superhero. Tapi berhubung bulan ini sepertinya tidak ada film yang benar-benar memikat hati saya, akhirnya saya memutuskan mencoba menonton film yang lagi hype dimana-mana ini; Doctor Strange. Dan seperti biasa, saya malas berekspektasi apapun. Bahkan saya selalu skeptis dengan film-film bertema superhero. Dan karena saya terlalu malas mencari info film ini (karena nggak tertarik juga untuk menontonnya, sih), saya sempat kaget dengan jajaran cast di film ini yang ternyata adalah dua aktor hebat: Mads Mikkelsen dan Tilda Swinton. What I already knew that Benedict Cumberbatch as Doctor Strange, nothing else. For your information, I never read the comic too.

Penggarapan naskah film ini menjadi salah satu poin lemah di film ini. Ceritanya terkesan biasa saja. Apalagi bagi saya yang notabene bukan penggemar cerita superhero. Bagi penonton awam yang tidak membaca komiknya (seperti saya), ada beberapa hal yang mungkin akan menimbulkan tanda tanya, mengapa begini mengapa begitu?, apalagi ceritanya terkesan terburu-buru terutama di klimaksnya. Saya sampai berujar dalam hati; villainnya kok gampang banget dikalahkan?What the..!! Padahal durasinya cukup panjang (bagi saya yang memang susah menonton film-film berdurasi panjang), namun tetap saja terlalu banyak hal yang sepertinya tidak dapat dicakup semaksimal mungkin. Apalagi bagi penggemar komiknya, saya yakin akan merasa sangat tidak puas. Perpindahan tiap adegannya terasa begitu cepat, overlap dan sering terasa dipaksakan agar dapat tuntas dalam durasi 115 menit. Pun begitu, entah kenapa saya masih juga merasakan sedikit kebosanan dan nyaris mengantuk. Syukurlah, special effectnya yang sangat bagus memang sangat memanjakan mata sehingga rasa kantuk pun seketika lenyap. Mungkin kalau saya tidak menonton di bioskop, saya yakin sekali saya akan ketiduran bahkan mungkin dari pertengahan film diputar. Special effectnya mengingatkan pada film Inception di beberapa bagian. Sedikit menyesal saya tidak menonton yang versi 3D. Buat anda yang belum menontonnya, sangat disarankan untuk menonton versi 3D. Tak lupa, ada sisipan jokes-jokes yang cukup sukses membuat seisi bioskop tertawa. Namun saya sendiri sepertinya tidak terlalu menikmati jokes tersebut. Yang saya ingat, saya hanya tertawa dua atau tiga kali saja; jokes tentang Beyonce dan ketika Wong akhirnya bisa tertawa. That's it!.

Doctor Strange tidak akan menjadi hidup tanpa penampilan dari seorang Benedict Cumberbatch. Walau pun untuk beberapa bagian, dia masih terlihat seperti seorang Sherlock, namun tetap kehadirannya merupakan salah satu kunci kesuksesan film ini. Sayangnya, penampilan Mads Mikkelsen dan Tilda Swinton kurang tereksplor lebih banyak lagi, terutama Mikkelsen yang terasa menyia-nyiakan kemampuan aktingnya yang sangat bagus tersebut. Karakter Kaecillius terlihat kurang dikembangkan lebih banyak lagi, bahkan terkesan begitu mudah dikalahkan oleh Strange. 

Well, sebagai sebuah sajian film superhero yang ringan, menghibur, dan penuh special effect canggih, Doctor Strange telah berhasil melakukannya dengan sangat baik. Jangan buru-buru beranjak dari bioskop karena masih ada post-credit scene di akhir film.







Title: Doctor Strange | Genre: Action, Adventure, Fantasy | Director: Scott Derrickson | Music: Michael Giacchino | Cinematography: Ben Davis | Production company: Marvel Studios | Release dates: October 13, 2016 (Hong Kong), November 4, 2016 (United States) | Running time: 115 minutes | Country: United States | Language: English | Based on Doctor Strange by Steve Ditko | Cast: Benedict Cumberbatch, Chiwetel Ejiofor, Rachel McAdams, Benedict Wong, Michael Stuhlbarg, Benjamin Bratt, Scott Adkins, Mads Mikkelsen, Tilda Swinton | IMDb | Rotten Tomatoes








October 04, 2016

Swimming Pool (2003)

Rewatch

Swimming Pool (2003)



 When someone keeps an entire part of their life secret from you, it's fascinating and frightening.
Sarah Morton -




Sarah Morton (Charlotte Rampling) adalah seorang penulis novel misteri terkenal dari Inggris. Dalam rentang waktu yang cukup lama dia tidak lagi menghasilkan karya yang bagus. Oleh karena itu bossnya John Bosload (Charles Dance) menawarinya liburan ke rumahnya di Paris sembari mencari ide untuk membuat karya berikutnya. Sarah menerima tawaran tersebut dan menikmati suasana tenang di rumah tersebut. Hingga suatu malam, Sarah kedatangan tamu tak diundang, putri John yaitu Julie (Ludivine Sagnier) yang serta merta mengacaukan ketenangannya.

Setelah See The Sea (Regarde La Mer) yang memikat saya, saya mulai mencari film-film Francois Ozon lainnya dan pilihan saya jatuh pada film Swimming Pool. Dengan alur yang lambat khas film-film Eropa, mungkin bagi sebagian orang akan merasa bosan menonton film ini. Namun, tetaplah bertahan hingga film usai karena semuanya akan terbayarkan nantinya. Salah satu ciri khas film-film Ozon adalah selalu menampilkan tema erotis dan LGBT. Tak terkecuali film ini juga. Tetapi ada twist yang dihadirkan dalam tema tersebut di film ini. Jika tidak jeli, bisa dipastikan anda akan terkecoh dengan twist tersebut. Saya sendiri merasa tertipu mentah-mentah dengan twist tersebut - terutama adegan kejadian di kolam renang - sehingga mau tidak mau saya harus mengakui bahwa lagi-lagi saya 'dikerjai' oleh Ozon. Good job Ozon! Twistnya sendiri sebenarnya bisa dikatakan ambigu dan setiap orang punya interpretasi sendiri pada twist tersebut. Ah, ya film ini juga memanjakan mata kaum adam karena lumayan banyak topless and naked scene dari Ludivine Sagnier. 

Seperti See The Sea, Swimming Pool juga penuh kejutan tak terduga di akhir ceritanya. Ozon memang suka 'memainkan' penontonnya dengan sajian thriller psikologis yang penuh dengan momen-momen penuh kejutan. Menonton film-film Ozon membuat kita terpesona, terkejut dan terhibur secara bersamaan; sama seperti halnya ketika menonton film-film Hitchcock. Aroma suspense misteri penuh thriller tercium jelas dalam film ini berkat akting bagus dari Charlotte Rampling sebagai karakter Sarah Morton yang dingin dan Ludivine Sagnier sebagai Julie yang misterius. Swimming Pool tak akan sebagus ini tanpa Rampling. Aura Rampling benar-benar membius dan seolah menyatu dengan karakter Sarah Morton yang diperankannya. Begitu pun dengan Sagnier yang tak sekedar hanya memamerkan bagian tubuhnya yang mulus, tetapi juga membuktikan bahwa dia bisa berakting dengan bagus. Finally, I wanna recommend this movie to you especially for those who like suspense mystery thriller genre. And I'll watch other Ozon's movies for sure. 









Title: Swimming Pool | Genre: Crime, Drama, Mystery | Director: François Ozon | Music: Philippe Rombi | Release dates: 18 May 2003 (Cannes), 2 July 2003 (US), 22 August 2003 (UK) | Running Time: 103 minutes | Country: France, United Kingdom | Language: English, French | Cast: Charlotte Rampling, Ludivine Sagnier, Charles Dance | IMDb | Rotten Tomatoes






September 22, 2016

Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016)


Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016)

Berusaha Terlalu Keras Melucu






“Ini bukan taplak meja sembarangan, lho. Pernah dipakai sama Katy Perry. 
Jadi kalau makan di meja ini, serasa makan sama Katy Perry. Gitu!”
- Dono -









Dono (Abimana Aryasatya), Kasino (Vino G. Bastian), dan Indro (Tora Sudiro) adalah anggota dari sebuah lembaga bernama CHIPS (Cara Hebat Ikut Penanggulangan Sosial). Mereka bertiga lebih banyak melakukan kekacauan dan kekonyolan ketimbang hal yang bermanfaat. Oleh karena itu mereka mendapat tugas dari atasan mereka Juned (Ence Bagus) untuk menangkap kawanan begal yang meresahkan masyarakat. Mereka bertiga dibantu oleh anggota baru yang cantik asal Prancis  bernama Sophie (Hannah Al Rashid). Tetapi karena ketidakbecusan dan kekacauan yang kerap mereka lakukan, ketiganya malah harus membayar ganti rugi sebesar 8 miliar dalam tempo yang singkat. Jika mereka gagal, maka mereka harus mendekam dalam penjara selama 10 tahun. Akhirnya ketiganya yang juga dibantu oleh Sophie mencari cara agar bisa mengumpulkan uang 8 miliar tersebut. 

Hype film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 begitu luar biasa. Sampai digadang-gadang mampu mengalahkan kesuksesan film yang sebelumnya berada di puncak box office tanah air. Hal tersebut tentu saja mengundang reaksi banyak orang untuk menontonnya. Benarkah film ini selucu yang dikatakan orang-orang? Well, lucu, sih iya tapi jika ingin jujur, sih film ini tidaklah selucu itu. Bahkan di awal-awal film, saya sama sekali tidak tertawa walau hampir seisi bioskop ketawa. Padahal opening creditnya dibuat dengan gaya film-film Indonesia era 80-90-an - yang membuat saya bernostalgia dengan film-film warkop -  yang berisi adegan-adegan (yang terlalu dipaksakan untuk) lucu. Rombongan ibu-ibu naik sepeda motor, polisi tidur, tulisan-tulisan di truk sama sekali tidak membuat saya sedikit pun tersenyum atau tertawa. "Garing!", begitu yang keluar dari mulut saya. Menit-menit berikutnya saya cuma bisa mesem-mesem saja. Bahkan saya berkata begini pada teman saya; "Kayaknya aku memang lagi stress, ya sampe nggak bisa ketawa?". Padahal niat awal menonton film ini karena ingin menghilangkan stress tapi, kok malah jadi stress? Saya pun mulai merasakan kebosanan, bahkan hingga hampir di pertengahan film. Hingga akhirnya saya berpikir, sepertinya saya terlalu serius menonton film ini sehingga saya tidak menikmatinya sama sekali. Akhirnya saya pun memaksa diri saya untuk enjoy menontonnya, tanpa perlu berpikir mengapa begini mengapa begitu. Hasilnya? Saya mulai bisa tertawa sedikit. Bahkan di pertengahan hingga hampir menjelang akhir, saya beberapa kali tertawa terbahak-bahak. Entahlah, apakah memang karena ceritanya yang memang mulai lucu atau karena saya menontonnya tanpa berpikir apapun. Tapi sayangnya, lelucon-leluconnya ada beberapa yang terkesan sangat kasar dan sedikit rasis. Di beberapa bagian, slapstick-nya terlihat sangat vulgar. Apakah membuat sajian komedi harus dengan lelucon kasar, rasis dan vulgar seperti itu? Saya menyayangkan hal tersebut, terlebih karena di bioskop ada anak-anak yang menonton film ini. Film ini untuk 13 tahun ke atas, tapi menurut saya, anak umur segitu belum pantas menonton film ini karena ada beberapa adegan yang tidak pantas ditujukan untuk anak seusia segitu. Harusnya film ini untuk 17 tahun ke atas. 

Membagi film menjadi dua bagian seperti ini sebenarnya sudah kuno. Hal seperti ini hanya membuat cerita menjadi dragging dan terpaksa dipanjang-panjangin. Ya, memang tak bisa dipungkiri mengapa film ini dibagi dalam dua bagian seperti ini. Apalagi namanya kalau bukan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Tapi, tahukah anda wahai pencari keuntungan tersebut, hal yang seperti ini sebenarnya benar-benar amat menyiksa kami sebagai penonton?. Bayangkan, anda sudah merasa nyaman, enak dan sangat menikmati sebuah film, eh tiba-tiba film harus berakhir aja gitu dan anda disuruh untuk menunggu entah sampai berapa lama untuk menonton kelanjutannya. Bukankah alangkah baiknya jika dalam satu film, cerita langsung dibuat selesai dengan satu tema saja? Nah, bagian kedua nanti dibuat dalam tema yang berbeda. Seperti dalam serial-serial kriminal yang setiap episodenya mempunyai kasus yang berbeda dan diselesaikan langsung setiap episodenya. Dan membuat film ini menjadi dua bagian adalah salah satu kesalahan besar yang seharusnya dihindari. Anggy Umbara selaku sang sutradara harusnya paham akan hal itu. 

Me-reboot sebuah film - apalagi film yang terkenal - memang bukan perkara mudah. Anggy Umbara pun sengaja menyisipkan adegan-adegan khas film-film warkop yang akan membuat penonton bernostalgia. Tapi saya sendiri malah lupa. Ya, mungkin karena waktu itu saya masih kecil dan itu sudah lama sekali ketika saya terakhir kali menonton film-film Warkop. Walaupun sering di putar ulang di televisi, tetapi saya tidak pernah lagi menontonnya. Apa yang dilakukan oleh Anggy Umbara ini sebenarnya hal yang bagus karena dengan begitu maka penonton yang tidak tahu dan tidak tumbuh dengan film-film Warkop tersebut, sedikit banyak akan menjadi tahu. Ah, saya jadi ingin menonton kembali film-film warkop terdahulu, nih! 

Anyway, ketika saya tahu Anggy Umbara akan me-reboot film warkop. saya amat sangat skeptis, terlebih pada jajaran castnya. Tidak terpikirkan sedikit pun trio warkop yang fenomenal itu akan bisa diperankan oleh orang lain selain Dono, Kasino dan Indro sendiri. Dan ketika terkuak siapa-siapa saja calon pemainnya, saya semakin pesimis. Terlebih, saya bosan dengan para pemain yang itu-itu saja. Lalu hasilnya? Hmm..  Tora Sudiro bisa dikatakan menjadi yang paling mengecewakan di sini. Tepat dugaan saya bahwa dia memang tidak akan bisa memerankan karakter Indro. Atau mungkin bisa dikatakan Tora sedikit tertekan memerankan karakter Indro karena kehadiran Indro asli dalam film ini. Vino G, Bastian, boleh sedikit diapresiasi dengan usahanya memerankan karakter Kasino walau memang di beberapa bagian terkesan begitu dipaksakan dan terlihat kewalahan. Apalagi adegan ngomongnya yang teriak-teriak itu, sedikit membuat sakit telinga. Nah, yang harus mendapat apresiasi lebih dan acungan jempol adalah Robertino. Eh, siapa itu Robertino? Robertino adalah nama asli Abimana Aryasatya sebelum dia mengganti namanya menjadi Abimana Aryasatya. Awal saya mengenal sosok Abimana adalah dengan nama Robertino karena saya dulu suka membeli majalah remaja dimana dia masih menjadi model di awal karirnya. Eh, ketauan, deh udah tuanya! :D Abimana begitu sukses memerankan karakter Dono dengan sangat baik. Tak sia-sia penampilannya dipermak sedemian rupa supaya mirip Dono - dengan gigi palsu dan body suit. And that's the very best part from this movie. Selain itu film ini juga diisi oleh jajaran cast dari Stand Up Comedy dan aktor-aktor yang tidak asing lagi di layar kaca seperti Tarzan yang mendapat adegan yang cukup mengocok perut, Agus Kuncoro yang tidak biasanya berperan sekocak ini dalam film, Hannah Al Rashid si jelmaan Meriam Bellina yang menjadi primadona film ini, Nikita Mirzani yang selalu kebagian peran wanita penggoda dan Indro Warkop yang asli. Tapi saya tidak suka dengan peran yang dimainkan oleh Indro. Saya sampai saat ini masih bertanya-tanya, perlukah karakter yang dimainkan Indro tersebut ada? Saya sejujurnya kecewa, mengapa Indro malah harus kebagian peran seperti itu? Apalagi karakter Katy Perry KW yang amat sangat annoying, a little bit disgusting and it's not funny at all

Well, film ini memang masih menyisakan banyak kekurangan dimana-mana. Pun begitu, kita tetap harus mengapresiasinya. Setidaknya, bioskop tanah air tidak lagi diisi oleh film-film hantu pengumbar aurat semata. Dan semoga Part 2 nanti bisa lebih baik lagi di segala aspek. Bagi anda yang ingin menonton film ini, saya sarankan cukup ditonton saja, tidak perlu dipikirkan atau dibanding-bandingkan dengan film-film Warkop terdahulu. Dan juga tidak usah berekspektasi apapun. Jangan terlalu serius juga. Ini film komedi, bung! Just watch and enjoy it. Jika anda sama sekali tidak tertawa sedikit pun, mungkin ada yang salah dengan diri anda. Karena setidaknya, siapa pun yang menonton film ini, pasti minimal akan tertawa, walau hanya sedikit. Dan ada sedikit bonus bloopers di akhir film yang menurut saya malah lebih lucu dibanding filmnya sendiri - terutama ketika adegan dimana gigi palsu Abimana copot. 








Title: Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 | Genre: Comedy | Director: Anggy Umbara | Release Date: 8 September 2016 | Country: Indonesia | Language: Bahasa | Cast: Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Indro Warkop, Hannah Al Rashid, Tarzan, Agus Kuncoro, Nikita Mirzani, Ence Bagus | IMDb






September 06, 2016

Don't Breathe (2016)


Don't Breathe (2016)

Tensi Menyesakkan Tanpa Jeda




 






Warning: Maybe Contain Spoiler!

Money (Daniel Zovatto), Rocky (Jane Levy) dan Alex (Dylan Minnette) adalah tiga kriminal kelas rendah yang suka membobol rumah-rumah orang kaya. Mereka hanya mencuri uang atau barang yang nilainya tak lebih dari 10.000 dolar. Aksi mereka selalu berhasil dengan aman berkat bantuan 'tidak langsung' dari ayah Alex yang merupakan pemilik dari perusahaan keamanan. Tujuan mereka merampok tak lain karena ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Seorang veteran perang tuna netra (Stephen Lang) menjadi target perampokan mereka selanjutnya. Konon pria tua buta yang hanya tinggal bersama anjing penjaganya tersebut menyimpan ribuan dolar di rumahnya. Aksi mereka kelihatannya akan berjalan dengan mulus, namun ternyata mereka tidak menyadari ada teror yang akan menghampiri mereka. 

Honestly, this became my first time watching alone in theater. Alasannya, - tidak ada yang bisa diajak nonton bareng - saya ingin merasakan sensasi menonton film thriller horror di bioskop sendirian. Dan apa yang saya dapat? I really enjoy it so much. Tepat sekali saya memilih film ini, karena sesuai judulnya, film ini nyaris tidak memberikan kesempatan untuk penontonnya menghela nafas barang sejenak. Pria buta yang disangka lemah tersebut ternyata sosok yang penuh dengan kejutan dan bisa berubah menjadi monster mengerikan yang setiap saat bisa saja menghabisi para perampok kecil tersebut hanya dengan mendengar desahan nafas mereka semata. Teror demi teror mencekam dari sang pria buta tersebut terus menerus menghujam ketiga perampok kelas teri tersebut.

Don't Breathe memang konsisten menebar teror penuh ketegangan sepanjang film berlangsung. Kejutan demi kejutan penuh ketegangan akan diberikan tanpa henti. Baru saja kita sedikit bisa bernafas lega, tiba-tiba sudah dikejutkan lagi dengan sesuatu yang tidak akan kita sangka. Thriller home invasion non-stop ini benar-benar membuat jump scare moment nyaris sepanjang film. Fede Alvares, selaku sang sutradara seolah tak memberikan kesempatan penontonnya untuk bernafas. Dan itu sungguh menyesakkan. Bersetting hampir sebagian besar hanya berkutat di dalam rumah dengan kesunyian yang mendominasi, menambah aura ketegangan film ini. Nuansa klaustrofobia begitu terasa tatkala adegan lampu dimatikan dan berubah ke dalam night vision mode. Adegan kejar-kejaran ala cat and mouse di ruangan gelap tersebut benar-benar memaksa kita sebagai penonton untuk menahan nafas panjang. Kegelapan yang telah menjadi dunia sang pria tua buta tentu menjadi hal yang mudah baginya ketika harus 'bertarung' dengan para perampok tersebut dalam ruangan yang gelap dan sempit. Pendengarannya pun telah terasah  dengan baik, sehingga setiap detail bunyi menjadi petunjuk baginya untuk menemukan keberadaan targetnya. Sensasi mengerikan dan mencekam memang begitu terasa dalam adegan yang penuh kegelapan tersebut. Kita sebagai penonton seolah diajak untuk merasakan sensasi dalam sebuah ruangan gelap penuh kesunyian mencekam tersebut. 

Tak hanya teror dari sang pria buta yang terus menghantui, anjing penjaga milik sang pria tua tersebut juga tak kalah menebar ancaman yang mematikan bagi siapa saja yang mengganggu pemiliknya. Dan sejujurnya, hal ini justru lebih menakutkan bagi saya. Apalagi bagi anda yang fobia anjing, anda harus berhati-hati karena bisa dipastikan anda akan merasakan kadar ketegangan dan kengerian yang menjadi berlipat ganda ketika menonton film ini. Dan atmosfir tegang yang mencekam akan semakin terasa dengan balutan scoring garapan Roque Baños dan sinematografi dari Pedro Luque. Namun, di tengah ketegangan yang kerap hadir sepanjang film, ada error yang sedikit mengganggu dan menimbulkan tanda tanya bagi saya yaitu bagaimana cara sang pria tua buta tersebut melepaskan borgol di tangannya dan mengapa obat bius yang diberikan padanya tidak berpengaruh sama sekali?. Tetapi Alvares begitu pintar menutupi error tersebut dengan mengisinya dengan adegan-adegan menegangkan penuh twist yang membuat sesak nafas tanpa jeda, sehingga kita nyaris tak diberikan waktu berpikir lama-lama tentang kesalahan kecil tersebut. 

Stephen Lang jelas amat sangat memukau dalam memerankan karakter sang pria tuna netra yang tak bisa dipandang sebelah mata tersebut. Jane Levy, Dylan Minnette, dan Daniel Zovatto sebenarnya terlihat biasa saja, namun berkat racikan hebat dari Alvarez, akting mereka jadi lebih baik ketika memerankan karakter-karakter yang memang pas untuk mereka tersebut dan bisa menutupi segala kekurangan yang ada. Berbicara soal karakter-karakternya, tidak ada karakter yang benar atau salah di sini. Semuanya abu-abu. Saya tidak akan bersimpati dengan para perampok kelas teri tersebut. Namun, saya juga tidak bisa mendukung perbuatan yang dilakukan oleh sang pria buta tersebut. Saya nyaris ingin memberikan rating sempurna untuk film ini jika saja endingnya tidak seperti film kebanyakan dimana karakter utama akan survive setelah mengalami peristiwa yang mematikan. Ya, saya mengharapkan karakter Rocky mengalami nasib yang sama seperti kedua rekannya. Atau setidaknya Rocky masuk penjara karena perbuatannya tersebut. Atau semua karakter dalam film ini mati. Tapi sayangnya, Alvarez ingin cepat-cepat menyudahi film ini dengan akhir cerita yang membuat penontonnya dapat bernafas lega. Sayang sekali!  








Title: Don't Breathe | Genre: Thriller, Horror | Director: Fede Alvarez | Music: Roque Baños | Cinematography: Pedro Luque | Release dates: March 12, 2016 (SXSW), August 26, 2016 (United States) | Running Time: 88 Minutes | Country: United States | Language: English | Cast: Jane Levy, Dylan Minnette, Daniel Zovatto, Stephen Lang | IMDb | Rotten Tomatoes







 







September 02, 2016

Love's Whirlpool | Ai no Uzu (2014)


Love's Whirlpool (2014)

When anonymous men and women pay to enter an anonymous sex club.




Warning:  
18+
Contain Nudity and Sex!!!





Mulai tengah malam hingga pukul 5 pagi, beberapa orang berkumpul di sebuah apartement elite di kawasan Roppongi. Mereka tidak saling kenal dan baru bertemu pertama kalinya. Di tempat tersebut, mereka melakukan aktivitas seksual tanpa dasar cinta.

Tema tentang seks menjadi sesuatu yang booming belakangan ini dalam sebuah film, terutama film-film Asia. Entah karena kehabisan ide untuk membuat film bagus (tanpa seks) atau memang tema erotis menjadi suatu nilai jual yang laris saat ini? Tak terkecuali film arahan Daisuke Miura ini. Film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama "Ai no Uzu" karangan Daisuke Miura ini memang sebuah film bertema erotis tentang pesta seks klub swinger yaitu sebuah klub yang beranggotakan beberapa orang yang berkumpul bersama untuk melakukan hubungan seks beramai-ramai. Tiap orang dapat memilih pasangan yang dikehendaki dan dapat bertukar pasangan kapan pun. Mungkin buat sebagian orang, merasa aneh dengan keberadaan klub seks seperti ini. Tapi di Jepang tak ada yang aneh. Bahkan mungkin jika klub seks semacam ini belum ada, saya yakin akan ada nantinya. Klub seks swinger tersebut memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh anggotanya seperti: wajib mandi sebelum dan sesudah melakukan aktivitas seksual, wajib menggunakan kondom, pria harus menghormati keinginan wanita sehingga wanita berhak menolak jika tidak ingin melakukan seks dengan pria tertentu dan waktu untuk melakukan seks hanya dari pukul 12 tengah malam hingga pukul 5 pagi. Dan ketika meninggalkan apartemen di pagi harinya, pria dan wanita harus keluar secara terpisah untuk menghindari terjadinya stalking

Tak sekedar menjual tubuh para pemainnya, film ini masih mempunyai jalan cerita yang lumayan menarik. Bersetting hampir 99% hanya di sebuah apartemen, tidak membuat film ini serta merta menjadi membosankan. Justru dialog-dialognya cukup menghibur; lucu dengan banyak sisipan jokes-jokes vulgar. Pace yang lambat di awal dengan rentang waktu 123 menit memang terasa lama untuk film bergenre seperti ini, terutama jika memang tujuan menonton film ini bukan untuk melihat adegan softcorenya. Tapi tenang, semua terselamatkan berkat dialog-dialognya yang segar, lucu dan terkadang absurd. Dialog-dialog 'nakal' yang tercipta antar anggota klub seks ini menjadi bagian yang lebih menarik ketimbang sex scene-nya sendiri. Salah satu dialog yang lucu sekaligus menggelitik adalah tentang fantasi seks karakter Guru TK yang membayangkan melakukan seks dengan salah satu siswanya. Lewat percakapan yang terjadi antar karakter, kita bisa melihat bahwa di tempat inilah karakter asli mereka terungkap. Miura tanpa ragu menelanjangi semua karakter yang ada dalam film ini sebelum kita tahu apapun tentang mereka yang sebenarnya, hingga kemudian kita mungkin akan tercengang kaget begitu mengetahui mereka memakai 'topeng' dalam kehidupan normal mereka sehari-hari. Begitulah, kenyataan memang pahit, sehingga terkadang seseorang harus berpura-pura menjadi orang lain demi survive dalam kehidupan yang keras ini. Keberadaan klub swinger seperti ini seperti menjadi suatu tempat pelarian bagi mereka dari sesaknya kehidupan normal yang dijalani, terlebih karena mereka bisa menjadi diri mereka sendiri. Sayangnya, karakter yang ada kurang digali lebih dalam lagi oleh Miura. Padahal beberapa karakternya cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut. 

Mugi Kadowaki - sebagai pendatang baru kala itu - mendapat respon positif untuk karakternya sebagai mahasiswi dalam film ini. Namun, saya menyayangkan kenapa dia harus bersinar karena membintangi film bergenre erotis seperti ini. Sosuke Ikematsu yang berperan sebagai NEET (Not in Education, Employment or Training) juga bersinar aktingnya kala itu dengan banyaknya film dan dorama yang dibintanginya. Salah satu aktingnya yang berkesan adalah sebagai Shingai Kazuhiko di dorama Mozu. Lewat film ini, Ikematsu membuktikan bahwa dia juga bisa memerankan karakter NEET dengan baik. Tapi bagi saya, justru kedua karakter sentral dalam film ini terlihat biasa saja. Yang justru mencuri perhatian saya adalah karakter-karakter pendukungnya yang dimainkan dengan bagus oleh para aktornya. Hirofumi Arai, tak usah diragukan lagi kemampuan aktingnya walaupun selalu menjadi supporting roles. Begitu pun dengan Kenichi Takito, Tetsushi Tanaka dan Yosuke Kubozuka. Khusus Yosuke Kubozuka, saya menyayangkan karirnya yang meredup dan hanya mendapat peran-peran kecil, padahal aktingnya bagus, seperti dalam dorama Ikebukuro West Gate Park dan Great Teacher Onizuka (1998) yang membuatnya dikenal publik. 

Well, bagaimana pun Love's Whirlpool cukup menarik untuk di tonton karena meskipun disajikan dengan embel-embel erotisisme, film ini juga memaparkan banyak hal lain yang tak sekedar seks belaka.





Title: Love's Whirlpool | Original Title: Ai no Uzu (愛の渦) | Based on novel Ai no Uzu by Daisuke Miura | Genre: Drama, Romance, Erotic | Director: Daisuke Miura | Cinematographer: Shin Hayasaka | Release date: March 1, 2014 | Running time: 123 minutes | Country: Japan | Language: Japanese | Cast: Sosuke Ikematsu, Mugi Kadowaki, Kenichi Takito, Eriko Nakamura, Hirofumi Arai, Yoko Mitsuya, Ryusuke Komakine, Muck Akazawa, Tokio Emoto, Yosuke Kubozuka, Tetsushi Tanaka | IMDb







Translate

Waiting Lists

Sur mes lèvres.jpg Dark, brown-tinted and horror-themed image of a man in an asbestos-removal suit (to the right side of the poster), with an image of a chair (in the middle of the image) and an image of a large castle-like building at the top of the image. The text "Session 9" is emboldened in white text in the middle of the image, and near the bottom of the image is written, "Fear is a place." Lisbeth Salander with Mikael Blomkvist The Girl Who Played with Fire.jpg Page turner.jpg Le trou becker poster3.jpg Nightwatch-1994-poster.jpg Headhunter poster.jpg On the Job Philippine theatrical poster.jpg The Song of Sparrows, 2008 film.jpg The-vanishing-1988-poster.jpg Three Monkeys VideoCover.png