June 13, 2016

My Stupid Boss (2016)


My Stupid Boss (2016)

Boss Tidak Pernah Salah. Boss Selalu Benar.




"Impossible, we do.
Miracle, we try"
- Bossman -









Diana (Bunga Citra Lestari), ikut suaminya, Dika (Alex Abbad) menetap di Kuala Lumpur. Tidak seperti suaminya yang bisa bekerja hanya dari rumah saja, Diana memutuskan untuk kembali bekerja setelah tiga bulan menganggur. Perusahaan barunya tersebut dipimpin oleh teman dekat Dika saat kuliah di Amerika Serikat dan merupakan orang Indonesia juga. Namun ternyata keputusan Diana untuk bekerja di perusahaan bidang manufaktur tersebut bagaikan mimpi buruk. Perusahaan tersebut tidak memiliki sistem dan aturan yang jelas. Dan penyebabnya tak lain adalah boss mereka sendiri, Bossman (Reza Rahadian). Belum lagi Bossman merasa selalu benar, tidak pernah salah dalam hal apapun. Dan apapun yang diinginkannya harus bisa terpenuhi. Prinsipnya, Impossible We Do, Miracle We Try. Seringkali Diana terjebak dalam situasi yang memaksanya harus bertahan dengan kelakuan bossnya tersebut. Kesabarannya pun diuji habis-habisan. Hari-hari Diana di kantor bagaikan di neraka.

Pertama kali saya melihat poster film ini dipajang di bioskop dengan judul "coming soon" tertera besar-besar di atas posternya, saya sebenarnya enggan untuk menontonnya. Bahkan saya sempat berujar dalam hati; "Alahh.. palingan juga ceritanya klise banget! Judulnya aja nggak banget, gitu!" Dan saat itu saya tidak tahu (tidak mau tahu sebenarnya, sih!) bahwa Upi Avianto adalah sutradaranya. Begitu saya tahu bahwa film ini digarap Upi - saya kebetulan suka dengan karya-karya Upi - dan kebetulan juga film ini tiba-tiba ngehits banget, hype untuk menonton seketika muncul. Bukan, bukan karena saya selalu mendengar selentingan orang-orang yang berkata bahwa film ini lucu banget atau bagus dan hal positif lainnya (toh, saya juga malas berekspektasi tinggi), tapi karena saya ingin membuktikan sendiri perkataan rekan kerja saya yang bilang bahwa karakter Bossman mirip dengan boss saya. Dan saya pun harus setuju seratus persen dengan ucapan rekan kerja saya tersebut. Kelakuan bossman beneran mirip sekali dengan boss saya. Seriously! He's 100% percent looks like my boss. Bedanya boss saya nggak stupid, tapi rempong banget. Boss, you have to watch this~ 

Cerita My Stupid Boss berdasarkan kisah nyata curhatan seorang karyawati tentang bossnya di sebuah blog Chaos@work yang kemudian dijadikan novel. Dan seperti novelnya, film ini pun hanya fokus pada keseharian Bossman dengan karyawannya. Tak ada konflik yang berarti sama sekali, hanya seputar kekesalan Diana pada sang boss yang absurd dan nyeleneh, dimana dia terpaksa harus stuck dalam hubungan kerja yang chaos setiap saat. Bahkan, setting filmnya pun terbatas dan lebih dominan di kantor yang sempit dan tertutup yang menimbulkan kesan bahwa para karyawannya merasa tertekan dengan perlakuan sang boss. Sebagai penulis naskah dan sutradara, Upi telah berhasil meramu My Stupid Boss dengan santai, segar, lepas, dan tentu saja mengundang tawa sehingga film ini menjadi sajian full komedi yang menghibur. Baru kali ini saya menonton di bioskop bisa tertawa terbahak-bahak seperti ini. Tentunya karena saya ingat kelakuan boss saya sendiri. Untuk urusan komedinya, film ini memang menang walau beberapa leluconnya monoton dan seringkali diulang-ulang terus, tetapi untuk urusan cerita malah biasa saja. Banyak adegan yang terasa repetitif. Jika film ini dibuat dalam bentuk sitkom pasti amat bagus. Namun, mengingat ini dibuat dalam film, maka eksekusi yang tadinya bagus di awal malah terasa sedikit membosankan di pertengahan dan kemudian diakhiri dengan terburu-buru. Sahabat saya bahkan sampai bertanya seperti ini: "Sebenarnya apa, sih inti ceritanya?" Wah, wah.. Sebegitu burukkah jalan ceritanya? Tidak, sih! Hanya saja cerita di akhir dan karakter Bossman yang tiba-tiba berubah di akhir cerita tersebut terkesan terlalu dipaksakan. Walau, toh akhirnya Upi kembali ke jalan yang benar untuk mengakhiri film ini dengan mengembalikan lagi karakter Bossman yang asli dan membuat penonton bisa sedikit tersenyum lagi.

Kali ini Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari (BCL) kembali dipersatukan setelah sebelumnya pernah bermain bersama dalam Habibie dan Ainun (2012). Penampilan Reza jelas juara. Ekspresi dan gesture yang dihasilkannya saja sudah mampu membuat ketawa, apalagi melihatnya dalam penampilan yang sangat berbeda; berkumis, perut buncit, kepala nyaris botak, konyol, dan ucapannya seringkali tak jelas dengan logat Jawa yang kental. Reza, you have to play in comedy again! Bahkan kali ini dia jauh lebih konyol dan lucu dibanding di Kapan Kawin?. BCL bermain cukup bagus sebagai Diana alias Kerani. Mungkin benar adanya jika diarahkan dengan sutradara yang bagus dan lawan main yang bagus juga, maka besar kemungkinan pemain yang tadinya biasa saja bisa bermain dengan bagus juga. Setidaknya saya lupa bahwa selama ini akting BCL biasa-biasa saja setelah melihatnya bermain di film ini. Film ini juga didukung oleh para pemain dari Malaysia seperti Bront Palarae sebagai Adrian yang selalu menggoda Norahsikin yang diperankan oleh Atikah SuhaimeIskandar Zulkarnain sebagai Azhari yang selalu berzikir dengan tasbih, dan Chew Kinwah sebagai Mr. Kho yang tukang tidur. Bront Palarae sebelumnya pernah bermain dalam serial Halfworlds sehingga cukup familiar wajahnya. Chew Kinwah yang memerankan karakter Mr. Kho yang paling mencuri perhatian dengan ekspresi datarnya yang selalu kebingungan. Deretan departemen aktingnya merupakan kesatuan yang solid, sehingga mampu menghidupkan film ini dengan sangat baik. Selain itu, film ini juga memanjakan penontonnya dengan tampilan visualnya yang eye catching dan menarik. Setting, properti, kostum dan make-upnya pun sangat bagus dan pas (sedikit mengingatkan saya pada film favorit saya, Amelie). Saya sangat suka dengan setting rumah Diana~. Poin plus lainnya adalah hadirnya lagu-lagu legendaris Malaysia seperti Gerimis Mengundang dan Cindai

Jika anda benar-benar ingin melepaskan penat dan mencari film komedi yang benar-benar lucu, film ini sangat saya rekomendasikan. Tetapi jika anda ingin mencari film komedi dengan cerita yang bermutu, sepertinya anda harus mencari film lain.








Title: My Stupid Boss | Genre: Comedy | Director: Upi Avianto | Music: Aghi | Based on: My Stupid Boss by Chaos@work | Release Date: 19 May 2016 | Duration: 108 minute | Country: Indonesia, Malaysia | Language: Bahasa, Melayu | Cast: Bunga Citra Lestari, Reza Rahadian, Alex Abbad, Chew Kinwah, Bront Palarae, Atikah Suhaime, Iskandar Zulkarnain, Melissa Karim | IMDb






June 01, 2016

Siti (2014)

 Siti (2014)
Sebuah Potret Kegetiran Hidup


"Asu kowe mas!"
- Siti -




Siti adalah salah satu film yang paling ingin saya tonton dan akhirnya saya memiliki kesempatan menontonnya. Terima kasih untuk seseorang yang memberikan saya kesempatan tersebut. Bukan karena Siti menjadi film terbaik Festival Film Indonesia 2015 yang membuat saya ingin menontonnya, tetapi saya memang sudah penasaran sejak pertama kali melihat trailer film ini (yang saya lupa dimana melihat trailernya) jauh sebelum Siti menang beberapa perhargaan di dalam dan luar negeri. Film garapan Eddie Cahyono ini seperti memiliki daya magis tersendiri untuk menggoda penggila film seperti saya. Baiklah, mari kita bahas film Siti yang berdurasi 88  menit ini.

Setelah kecelakaan yang menimpa suaminya, Bagus (Ibnu Widodo), Siti (Sekar Sari) menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Selain harus merawat sang suami yang kini lumpuh, dia juga harus merawat anak semata wayangnya, Bagas (Bintang Timur Widodo) dan mertuanya, Darmi (Titi Dibyo). Untuk melunasi hutang sang suami, Siti berjualan peyek jingking di siang hari di pantai Parangtritis dan terpaksa bekerja sebagai pemandu karaoke ilegal di malam hari. Ironisnya, suaminya malah tidak mau berbicara lagi padanya sejak lama karena pekerjaan Siti di dunia malam tersebut. Keadaan semakin rumit tatkala seorang anggota polisi bernama Gatot (Haydar Saliz) menyukai Siti dan berniat mempersuntingnya.

Membaca premisnya malah seperti cerita shitnetron siang hari kesukaan mama saya (baca: shitnetron yang mengusung tema keluarga yang endingnya selalu berakhir bahagia) dimana tokoh protagonisnya  mengalami beban hidup yang sangat berat (karena kemiskinan). Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitulah mungkin yang tepat untuk mengggambarkan kehidupan Siti sebagai bagian dari golongan masyarakat menengah ke bawah. Namun tak seperti kisah dalam shitnetron yang selalu penuh dengan adegan tangis meratapi nasib, Siti bahkan seperti tak punya waktu untuk sekedar menitikkan air mata meratapi kegetiran hidup. Terkungkung dalam adat dan budaya sebagai perempuan Jawa, ruang gerak Siti pun terbatas. Untuk sekedar mengeluarkan unek-unek kekesalannya saja pada sang suami, Siti bahkan tidak mampu. Hingga akhirnya Siti harus meminta bantuan temannya, Sri untuk sekedar mengeluarkan amarahnya yang terpendam selama ini. Itulah mengapa, adegan dimana Siti "berpura-pura marah" melampiaskan segala kekesalannya pada suaminya sembari berteriak "asu" berulang-ulang kali, menjadi momen yang paling membekas dan tak terlupakan. Adegan tersebut juga menjadi adegan favorit saya di film ini. Dan film ini seluruhnya menggunakan bahasa Jawa (sebagian besar saya paham dan mengerti artinya, tetapi sisanya terpaksa harus membaca subtitle). Dialognya begitu 'renyah' serenyah peyek jingking, khas percakapan sehari-hari dan dipadu dengan guyonan-guyonan yang terkadang tanpa sadar membuat kita tersenyum-senyum sendiri mendengarnya. Obrolan Siti dengan Sri di pinggir pantai Parangtritis cukup menggelitik sekaligus menghibur. 

Dengan tampilan hitam putih, film ini seperti ingin memberitahu kita bahwa betapa monoton dan tidak berwarnanya hidup Siti. Beberapa kali terlihat adegan statis dengan shot panjang tanpa jeda. Film ini juga minim pencahayaan dan minim scoring. Namun, segala kesederhanaan yang ada di film ini begitu memikat hati saya. Dan disitulah letak kekuatan film ini, di samping naskahnya yang bagus dan para pemain yang semuanya bermain dengan sangat baik. Padahal tak satu pun dari pemain tersebut yang merupakan artis papan atas, namun kemampuan akting mereka patut diacungi jempol. Semua bermain secara natural. Sekar Sari tentu saja pantas diberikan dua jempol untuk aktingnya sebagai Siti di sini, namun yang justu mencuri perhatian saya adalah si kecil Bintang Timur Widodo. Berbicara soal karakter Siti, kita akan melihat sosok tersebut begitu kontras ketika berada di rumah dan di tempat karaoke, seolah di malam hari 'keliaran' dan 'ketertekanan batin' Siti meluap keluar, menjadikannya sosok yang berbeda. Pun begitu, kita tidak bisa serta merta menyalahkannya karena memang tekanan batin yang dideritanya begitu berat.

Ya, Siti memang menyajikan kisah yang begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, begitu sederhana, begitu nyata, begitu dekat, begitu jujur. Dramatisasinya tidak dipaksakan, pun tidak berlebihan. Ditata sedemikian apik sehingga cerita dengan alur yang sangat sederhana seperti ini pun bisa menjadi sajian yang bermutu dan berkelas. Love it!  Dan rasanya sudah lama sekali saya tidak menonton film Indonesia berkualitas dengan tema seperti ini; terakhir kali Pasir BerbisikSaya merindukan film-film seperti ini akan muncul lagi di kemudian hari. Tidak harus dengan tema yang sama, namun cukup menggambarkan realita yang ada tanpa harus tampil muluk-muluk. Setidaknya menggambarkan potret realita masyarakat kita kebanyakan. Dan endingnya, saya suka.. suka sekali dengan akhir cerita dengan konklusi ambigu seperti ini. This is so beautifully art. Walau tanpa kata-kata dan hanya sebuah adegan dengan shot statis yang panjang, sudah cukup menggambarkan rangkuman keseluruhan dari film ini; sebuah jawaban dari akhir yang melelahkan. Film yang akhirnya membuat saya harus mengumpat, "asu tenan!". 





Title: Siti | Genre: Drama | Director: Eddie Cahyono | Producer: Ifa Isfansyah | Music: Krisna Purna | Duration: 88 minutes | Country: Indonesia | Language: Javanese | Cast: Sekar Sari, Bintang Timur, Haydar Saliz, Ibnu Widodo, Titi Dibyo | IMDb












Translate

Waiting Lists

Sur mes lèvres.jpg Dark, brown-tinted and horror-themed image of a man in an asbestos-removal suit (to the right side of the poster), with an image of a chair (in the middle of the image) and an image of a large castle-like building at the top of the image. The text "Session 9" is emboldened in white text in the middle of the image, and near the bottom of the image is written, "Fear is a place." Lisbeth Salander with Mikael Blomkvist The Girl Who Played with Fire.jpg Page turner.jpg Le trou becker poster3.jpg Nightwatch-1994-poster.jpg Headhunter poster.jpg On the Job Philippine theatrical poster.jpg The Song of Sparrows, 2008 film.jpg The-vanishing-1988-poster.jpg Three Monkeys VideoCover.png