September 22, 2016

Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016)


Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016)

Berusaha Terlalu Keras Melucu






“Ini bukan taplak meja sembarangan, lho. Pernah dipakai sama Katy Perry. 
Jadi kalau makan di meja ini, serasa makan sama Katy Perry. Gitu!”
- Dono -









Dono (Abimana Aryasatya), Kasino (Vino G. Bastian), dan Indro (Tora Sudiro) adalah anggota dari sebuah lembaga bernama CHIPS (Cara Hebat Ikut Penanggulangan Sosial). Mereka bertiga lebih banyak melakukan kekacauan dan kekonyolan ketimbang hal yang bermanfaat. Oleh karena itu mereka mendapat tugas dari atasan mereka Juned (Ence Bagus) untuk menangkap kawanan begal yang meresahkan masyarakat. Mereka bertiga dibantu oleh anggota baru yang cantik asal Prancis  bernama Sophie (Hannah Al Rashid). Tetapi karena ketidakbecusan dan kekacauan yang kerap mereka lakukan, ketiganya malah harus membayar ganti rugi sebesar 8 miliar dalam tempo yang singkat. Jika mereka gagal, maka mereka harus mendekam dalam penjara selama 10 tahun. Akhirnya ketiganya yang juga dibantu oleh Sophie mencari cara agar bisa mengumpulkan uang 8 miliar tersebut. 

Hype film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 begitu luar biasa. Sampai digadang-gadang mampu mengalahkan kesuksesan film yang sebelumnya berada di puncak box office tanah air. Hal tersebut tentu saja mengundang reaksi banyak orang untuk menontonnya. Benarkah film ini selucu yang dikatakan orang-orang? Well, lucu, sih iya tapi jika ingin jujur, sih film ini tidaklah selucu itu. Bahkan di awal-awal film, saya sama sekali tidak tertawa walau hampir seisi bioskop ketawa. Padahal opening creditnya dibuat dengan gaya film-film Indonesia era 80-90-an - yang membuat saya bernostalgia dengan film-film warkop -  yang berisi adegan-adegan (yang terlalu dipaksakan untuk) lucu. Rombongan ibu-ibu naik sepeda motor, polisi tidur, tulisan-tulisan di truk sama sekali tidak membuat saya sedikit pun tersenyum atau tertawa. "Garing!", begitu yang keluar dari mulut saya. Menit-menit berikutnya saya cuma bisa mesem-mesem saja. Bahkan saya berkata begini pada teman saya; "Kayaknya aku memang lagi stress, ya sampe nggak bisa ketawa?". Padahal niat awal menonton film ini karena ingin menghilangkan stress tapi, kok malah jadi stress? Saya pun mulai merasakan kebosanan, bahkan hingga hampir di pertengahan film. Hingga akhirnya saya berpikir, sepertinya saya terlalu serius menonton film ini sehingga saya tidak menikmatinya sama sekali. Akhirnya saya pun memaksa diri saya untuk enjoy menontonnya, tanpa perlu berpikir mengapa begini mengapa begitu. Hasilnya? Saya mulai bisa tertawa sedikit. Bahkan di pertengahan hingga hampir menjelang akhir, saya beberapa kali tertawa terbahak-bahak. Entahlah, apakah memang karena ceritanya yang memang mulai lucu atau karena saya menontonnya tanpa berpikir apapun. Tapi sayangnya, lelucon-leluconnya ada beberapa yang terkesan sangat kasar dan sedikit rasis. Di beberapa bagian, slapstick-nya terlihat sangat vulgar. Apakah membuat sajian komedi harus dengan lelucon kasar, rasis dan vulgar seperti itu? Saya menyayangkan hal tersebut, terlebih karena di bioskop ada anak-anak yang menonton film ini. Film ini untuk 13 tahun ke atas, tapi menurut saya, anak umur segitu belum pantas menonton film ini karena ada beberapa adegan yang tidak pantas ditujukan untuk anak seusia segitu. Harusnya film ini untuk 17 tahun ke atas. 

Membagi film menjadi dua bagian seperti ini sebenarnya sudah kuno. Hal seperti ini hanya membuat cerita menjadi dragging dan terpaksa dipanjang-panjangin. Ya, memang tak bisa dipungkiri mengapa film ini dibagi dalam dua bagian seperti ini. Apalagi namanya kalau bukan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Tapi, tahukah anda wahai pencari keuntungan tersebut, hal yang seperti ini sebenarnya benar-benar amat menyiksa kami sebagai penonton?. Bayangkan, anda sudah merasa nyaman, enak dan sangat menikmati sebuah film, eh tiba-tiba film harus berakhir aja gitu dan anda disuruh untuk menunggu entah sampai berapa lama untuk menonton kelanjutannya. Bukankah alangkah baiknya jika dalam satu film, cerita langsung dibuat selesai dengan satu tema saja? Nah, bagian kedua nanti dibuat dalam tema yang berbeda. Seperti dalam serial-serial kriminal yang setiap episodenya mempunyai kasus yang berbeda dan diselesaikan langsung setiap episodenya. Dan membuat film ini menjadi dua bagian adalah salah satu kesalahan besar yang seharusnya dihindari. Anggy Umbara selaku sang sutradara harusnya paham akan hal itu. 

Me-reboot sebuah film - apalagi film yang terkenal - memang bukan perkara mudah. Anggy Umbara pun sengaja menyisipkan adegan-adegan khas film-film warkop yang akan membuat penonton bernostalgia. Tapi saya sendiri malah lupa. Ya, mungkin karena waktu itu saya masih kecil dan itu sudah lama sekali ketika saya terakhir kali menonton film-film Warkop. Walaupun sering di putar ulang di televisi, tetapi saya tidak pernah lagi menontonnya. Apa yang dilakukan oleh Anggy Umbara ini sebenarnya hal yang bagus karena dengan begitu maka penonton yang tidak tahu dan tidak tumbuh dengan film-film Warkop tersebut, sedikit banyak akan menjadi tahu. Ah, saya jadi ingin menonton kembali film-film warkop terdahulu, nih! 

Anyway, ketika saya tahu Anggy Umbara akan me-reboot film warkop. saya amat sangat skeptis, terlebih pada jajaran castnya. Tidak terpikirkan sedikit pun trio warkop yang fenomenal itu akan bisa diperankan oleh orang lain selain Dono, Kasino dan Indro sendiri. Dan ketika terkuak siapa-siapa saja calon pemainnya, saya semakin pesimis. Terlebih, saya bosan dengan para pemain yang itu-itu saja. Lalu hasilnya? Hmm..  Tora Sudiro bisa dikatakan menjadi yang paling mengecewakan di sini. Tepat dugaan saya bahwa dia memang tidak akan bisa memerankan karakter Indro. Atau mungkin bisa dikatakan Tora sedikit tertekan memerankan karakter Indro karena kehadiran Indro asli dalam film ini. Vino G, Bastian, boleh sedikit diapresiasi dengan usahanya memerankan karakter Kasino walau memang di beberapa bagian terkesan begitu dipaksakan dan terlihat kewalahan. Apalagi adegan ngomongnya yang teriak-teriak itu, sedikit membuat sakit telinga. Nah, yang harus mendapat apresiasi lebih dan acungan jempol adalah Robertino. Eh, siapa itu Robertino? Robertino adalah nama asli Abimana Aryasatya sebelum dia mengganti namanya menjadi Abimana Aryasatya. Awal saya mengenal sosok Abimana adalah dengan nama Robertino karena saya dulu suka membeli majalah remaja dimana dia masih menjadi model di awal karirnya. Eh, ketauan, deh udah tuanya! :D Abimana begitu sukses memerankan karakter Dono dengan sangat baik. Tak sia-sia penampilannya dipermak sedemian rupa supaya mirip Dono - dengan gigi palsu dan body suit. And that's the very best part from this movie. Selain itu film ini juga diisi oleh jajaran cast dari Stand Up Comedy dan aktor-aktor yang tidak asing lagi di layar kaca seperti Tarzan yang mendapat adegan yang cukup mengocok perut, Agus Kuncoro yang tidak biasanya berperan sekocak ini dalam film, Hannah Al Rashid si jelmaan Meriam Bellina yang menjadi primadona film ini, Nikita Mirzani yang selalu kebagian peran wanita penggoda dan Indro Warkop yang asli. Tapi saya tidak suka dengan peran yang dimainkan oleh Indro. Saya sampai saat ini masih bertanya-tanya, perlukah karakter yang dimainkan Indro tersebut ada? Saya sejujurnya kecewa, mengapa Indro malah harus kebagian peran seperti itu? Apalagi karakter Katy Perry KW yang amat sangat annoying, a little bit disgusting and it's not funny at all

Well, film ini memang masih menyisakan banyak kekurangan dimana-mana. Pun begitu, kita tetap harus mengapresiasinya. Setidaknya, bioskop tanah air tidak lagi diisi oleh film-film hantu pengumbar aurat semata. Dan semoga Part 2 nanti bisa lebih baik lagi di segala aspek. Bagi anda yang ingin menonton film ini, saya sarankan cukup ditonton saja, tidak perlu dipikirkan atau dibanding-bandingkan dengan film-film Warkop terdahulu. Dan juga tidak usah berekspektasi apapun. Jangan terlalu serius juga. Ini film komedi, bung! Just watch and enjoy it. Jika anda sama sekali tidak tertawa sedikit pun, mungkin ada yang salah dengan diri anda. Karena setidaknya, siapa pun yang menonton film ini, pasti minimal akan tertawa, walau hanya sedikit. Dan ada sedikit bonus bloopers di akhir film yang menurut saya malah lebih lucu dibanding filmnya sendiri - terutama ketika adegan dimana gigi palsu Abimana copot. 








Title: Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 | Genre: Comedy | Director: Anggy Umbara | Release Date: 8 September 2016 | Country: Indonesia | Language: Bahasa | Cast: Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Indro Warkop, Hannah Al Rashid, Tarzan, Agus Kuncoro, Nikita Mirzani, Ence Bagus | IMDb






September 06, 2016

Don't Breathe (2016)


Don't Breathe (2016)

Tensi Menyesakkan Tanpa Jeda




 






Warning: Maybe Contain Spoiler!

Money (Daniel Zovatto), Rocky (Jane Levy) dan Alex (Dylan Minnette) adalah tiga kriminal kelas rendah yang suka membobol rumah-rumah orang kaya. Mereka hanya mencuri uang atau barang yang nilainya tak lebih dari 10.000 dolar. Aksi mereka selalu berhasil dengan aman berkat bantuan 'tidak langsung' dari ayah Alex yang merupakan pemilik dari perusahaan keamanan. Tujuan mereka merampok tak lain karena ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Seorang veteran perang tuna netra (Stephen Lang) menjadi target perampokan mereka selanjutnya. Konon pria tua buta yang hanya tinggal bersama anjing penjaganya tersebut menyimpan ribuan dolar di rumahnya. Aksi mereka kelihatannya akan berjalan dengan mulus, namun ternyata mereka tidak menyadari ada teror yang akan menghampiri mereka. 

Honestly, this became my first time watching alone in theater. Alasannya, - tidak ada yang bisa diajak nonton bareng - saya ingin merasakan sensasi menonton film thriller horror di bioskop sendirian. Dan apa yang saya dapat? I really enjoy it so much. Tepat sekali saya memilih film ini, karena sesuai judulnya, film ini nyaris tidak memberikan kesempatan untuk penontonnya menghela nafas barang sejenak. Pria buta yang disangka lemah tersebut ternyata sosok yang penuh dengan kejutan dan bisa berubah menjadi monster mengerikan yang setiap saat bisa saja menghabisi para perampok kecil tersebut hanya dengan mendengar desahan nafas mereka semata. Teror demi teror mencekam dari sang pria buta tersebut terus menerus menghujam ketiga perampok kelas teri tersebut.

Don't Breathe memang konsisten menebar teror penuh ketegangan sepanjang film berlangsung. Kejutan demi kejutan penuh ketegangan akan diberikan tanpa henti. Baru saja kita sedikit bisa bernafas lega, tiba-tiba sudah dikejutkan lagi dengan sesuatu yang tidak akan kita sangka. Thriller home invasion non-stop ini benar-benar membuat jump scare moment nyaris sepanjang film. Fede Alvares, selaku sang sutradara seolah tak memberikan kesempatan penontonnya untuk bernafas. Dan itu sungguh menyesakkan. Bersetting hampir sebagian besar hanya berkutat di dalam rumah dengan kesunyian yang mendominasi, menambah aura ketegangan film ini. Nuansa klaustrofobia begitu terasa tatkala adegan lampu dimatikan dan berubah ke dalam night vision mode. Adegan kejar-kejaran ala cat and mouse di ruangan gelap tersebut benar-benar memaksa kita sebagai penonton untuk menahan nafas panjang. Kegelapan yang telah menjadi dunia sang pria tua buta tentu menjadi hal yang mudah baginya ketika harus 'bertarung' dengan para perampok tersebut dalam ruangan yang gelap dan sempit. Pendengarannya pun telah terasah  dengan baik, sehingga setiap detail bunyi menjadi petunjuk baginya untuk menemukan keberadaan targetnya. Sensasi mengerikan dan mencekam memang begitu terasa dalam adegan yang penuh kegelapan tersebut. Kita sebagai penonton seolah diajak untuk merasakan sensasi dalam sebuah ruangan gelap penuh kesunyian mencekam tersebut. 

Tak hanya teror dari sang pria buta yang terus menghantui, anjing penjaga milik sang pria tua tersebut juga tak kalah menebar ancaman yang mematikan bagi siapa saja yang mengganggu pemiliknya. Dan sejujurnya, hal ini justru lebih menakutkan bagi saya. Apalagi bagi anda yang fobia anjing, anda harus berhati-hati karena bisa dipastikan anda akan merasakan kadar ketegangan dan kengerian yang menjadi berlipat ganda ketika menonton film ini. Dan atmosfir tegang yang mencekam akan semakin terasa dengan balutan scoring garapan Roque Baños dan sinematografi dari Pedro Luque. Namun, di tengah ketegangan yang kerap hadir sepanjang film, ada error yang sedikit mengganggu dan menimbulkan tanda tanya bagi saya yaitu bagaimana cara sang pria tua buta tersebut melepaskan borgol di tangannya dan mengapa obat bius yang diberikan padanya tidak berpengaruh sama sekali?. Tetapi Alvares begitu pintar menutupi error tersebut dengan mengisinya dengan adegan-adegan menegangkan penuh twist yang membuat sesak nafas tanpa jeda, sehingga kita nyaris tak diberikan waktu berpikir lama-lama tentang kesalahan kecil tersebut. 

Stephen Lang jelas amat sangat memukau dalam memerankan karakter sang pria tuna netra yang tak bisa dipandang sebelah mata tersebut. Jane Levy, Dylan Minnette, dan Daniel Zovatto sebenarnya terlihat biasa saja, namun berkat racikan hebat dari Alvarez, akting mereka jadi lebih baik ketika memerankan karakter-karakter yang memang pas untuk mereka tersebut dan bisa menutupi segala kekurangan yang ada. Berbicara soal karakter-karakternya, tidak ada karakter yang benar atau salah di sini. Semuanya abu-abu. Saya tidak akan bersimpati dengan para perampok kelas teri tersebut. Namun, saya juga tidak bisa mendukung perbuatan yang dilakukan oleh sang pria buta tersebut. Saya nyaris ingin memberikan rating sempurna untuk film ini jika saja endingnya tidak seperti film kebanyakan dimana karakter utama akan survive setelah mengalami peristiwa yang mematikan. Ya, saya mengharapkan karakter Rocky mengalami nasib yang sama seperti kedua rekannya. Atau setidaknya Rocky masuk penjara karena perbuatannya tersebut. Atau semua karakter dalam film ini mati. Tapi sayangnya, Alvarez ingin cepat-cepat menyudahi film ini dengan akhir cerita yang membuat penontonnya dapat bernafas lega. Sayang sekali!  








Title: Don't Breathe | Genre: Thriller, Horror | Director: Fede Alvarez | Music: Roque Baños | Cinematography: Pedro Luque | Release dates: March 12, 2016 (SXSW), August 26, 2016 (United States) | Running Time: 88 Minutes | Country: United States | Language: English | Cast: Jane Levy, Dylan Minnette, Daniel Zovatto, Stephen Lang | IMDb | Rotten Tomatoes







 







September 02, 2016

Love's Whirlpool | Ai no Uzu (2014)


Love's Whirlpool (2014)

When anonymous men and women pay to enter an anonymous sex club.




Warning:  
18+
Contain Nudity and Sex!!!





Mulai tengah malam hingga pukul 5 pagi, beberapa orang berkumpul di sebuah apartement elite di kawasan Roppongi. Mereka tidak saling kenal dan baru bertemu pertama kalinya. Di tempat tersebut, mereka melakukan aktivitas seksual tanpa dasar cinta.

Tema tentang seks menjadi sesuatu yang booming belakangan ini dalam sebuah film, terutama film-film Asia. Entah karena kehabisan ide untuk membuat film bagus (tanpa seks) atau memang tema erotis menjadi suatu nilai jual yang laris saat ini? Tak terkecuali film arahan Daisuke Miura ini. Film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama "Ai no Uzu" karangan Daisuke Miura ini memang sebuah film bertema erotis tentang pesta seks klub swinger yaitu sebuah klub yang beranggotakan beberapa orang yang berkumpul bersama untuk melakukan hubungan seks beramai-ramai. Tiap orang dapat memilih pasangan yang dikehendaki dan dapat bertukar pasangan kapan pun. Mungkin buat sebagian orang, merasa aneh dengan keberadaan klub seks seperti ini. Tapi di Jepang tak ada yang aneh. Bahkan mungkin jika klub seks semacam ini belum ada, saya yakin akan ada nantinya. Klub seks swinger tersebut memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh anggotanya seperti: wajib mandi sebelum dan sesudah melakukan aktivitas seksual, wajib menggunakan kondom, pria harus menghormati keinginan wanita sehingga wanita berhak menolak jika tidak ingin melakukan seks dengan pria tertentu dan waktu untuk melakukan seks hanya dari pukul 12 tengah malam hingga pukul 5 pagi. Dan ketika meninggalkan apartemen di pagi harinya, pria dan wanita harus keluar secara terpisah untuk menghindari terjadinya stalking

Tak sekedar menjual tubuh para pemainnya, film ini masih mempunyai jalan cerita yang lumayan menarik. Bersetting hampir 99% hanya di sebuah apartemen, tidak membuat film ini serta merta menjadi membosankan. Justru dialog-dialognya cukup menghibur; lucu dengan banyak sisipan jokes-jokes vulgar. Pace yang lambat di awal dengan rentang waktu 123 menit memang terasa lama untuk film bergenre seperti ini, terutama jika memang tujuan menonton film ini bukan untuk melihat adegan softcorenya. Tapi tenang, semua terselamatkan berkat dialog-dialognya yang segar, lucu dan terkadang absurd. Dialog-dialog 'nakal' yang tercipta antar anggota klub seks ini menjadi bagian yang lebih menarik ketimbang sex scene-nya sendiri. Salah satu dialog yang lucu sekaligus menggelitik adalah tentang fantasi seks karakter Guru TK yang membayangkan melakukan seks dengan salah satu siswanya. Lewat percakapan yang terjadi antar karakter, kita bisa melihat bahwa di tempat inilah karakter asli mereka terungkap. Miura tanpa ragu menelanjangi semua karakter yang ada dalam film ini sebelum kita tahu apapun tentang mereka yang sebenarnya, hingga kemudian kita mungkin akan tercengang kaget begitu mengetahui mereka memakai 'topeng' dalam kehidupan normal mereka sehari-hari. Begitulah, kenyataan memang pahit, sehingga terkadang seseorang harus berpura-pura menjadi orang lain demi survive dalam kehidupan yang keras ini. Keberadaan klub swinger seperti ini seperti menjadi suatu tempat pelarian bagi mereka dari sesaknya kehidupan normal yang dijalani, terlebih karena mereka bisa menjadi diri mereka sendiri. Sayangnya, karakter yang ada kurang digali lebih dalam lagi oleh Miura. Padahal beberapa karakternya cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut. 

Mugi Kadowaki - sebagai pendatang baru kala itu - mendapat respon positif untuk karakternya sebagai mahasiswi dalam film ini. Namun, saya menyayangkan kenapa dia harus bersinar karena membintangi film bergenre erotis seperti ini. Sosuke Ikematsu yang berperan sebagai NEET (Not in Education, Employment or Training) juga bersinar aktingnya kala itu dengan banyaknya film dan dorama yang dibintanginya. Salah satu aktingnya yang berkesan adalah sebagai Shingai Kazuhiko di dorama Mozu. Lewat film ini, Ikematsu membuktikan bahwa dia juga bisa memerankan karakter NEET dengan baik. Tapi bagi saya, justru kedua karakter sentral dalam film ini terlihat biasa saja. Yang justru mencuri perhatian saya adalah karakter-karakter pendukungnya yang dimainkan dengan bagus oleh para aktornya. Hirofumi Arai, tak usah diragukan lagi kemampuan aktingnya walaupun selalu menjadi supporting roles. Begitu pun dengan Kenichi Takito, Tetsushi Tanaka dan Yosuke Kubozuka. Khusus Yosuke Kubozuka, saya menyayangkan karirnya yang meredup dan hanya mendapat peran-peran kecil, padahal aktingnya bagus, seperti dalam dorama Ikebukuro West Gate Park dan Great Teacher Onizuka (1998) yang membuatnya dikenal publik. 

Well, bagaimana pun Love's Whirlpool cukup menarik untuk di tonton karena meskipun disajikan dengan embel-embel erotisisme, film ini juga memaparkan banyak hal lain yang tak sekedar seks belaka.





Title: Love's Whirlpool | Original Title: Ai no Uzu (愛の渦) | Based on novel Ai no Uzu by Daisuke Miura | Genre: Drama, Romance, Erotic | Director: Daisuke Miura | Cinematographer: Shin Hayasaka | Release date: March 1, 2014 | Running time: 123 minutes | Country: Japan | Language: Japanese | Cast: Sosuke Ikematsu, Mugi Kadowaki, Kenichi Takito, Eriko Nakamura, Hirofumi Arai, Yoko Mitsuya, Ryusuke Komakine, Muck Akazawa, Tokio Emoto, Yosuke Kubozuka, Tetsushi Tanaka | IMDb







Translate

Waiting Lists

Sur mes lèvres.jpg Dark, brown-tinted and horror-themed image of a man in an asbestos-removal suit (to the right side of the poster), with an image of a chair (in the middle of the image) and an image of a large castle-like building at the top of the image. The text "Session 9" is emboldened in white text in the middle of the image, and near the bottom of the image is written, "Fear is a place." Lisbeth Salander with Mikael Blomkvist The Girl Who Played with Fire.jpg Page turner.jpg Le trou becker poster3.jpg Nightwatch-1994-poster.jpg Headhunter poster.jpg On the Job Philippine theatrical poster.jpg The Song of Sparrows, 2008 film.jpg The-vanishing-1988-poster.jpg Three Monkeys VideoCover.png